Selasa, 31 Maret 2015

Inteam feat Edcoustic - Kau Ditakdirkan Untukku

Ehm kali ini gue mau ngambil tema yang rada sensitif buat kita semua, yakni: takdir, jodoh, dan pasangan hidup :v

Haha gue juga gak ngerti nih mau mulai darimana.. Intinya kenapa gue buat postingan ini yang pertama:
1. Karena gue tinggal bersama orang yang udah "kebelet" pengen cepet-cepet naik ke pelaminan
2. Karena besok edcoustic mau dateng ke UPI.

Jadi, menghargai kedua alasan tersebut, entah kenapa gue jadi tertarik untuk mengulas sebuah lagu yang berjudul: Kau Ditakdirkan Untukku :D

Inteam feat Edcoustik - Kau Ditakdirkan Untukku

First of All, gue mau cerita dulu tentang sebuah band (?) yang menyanyikan lagu ini. Jadi, sejarah mencatat bahwa lagu yang akan gue ceritakan ini dipopulerkan oleh duo penyanyi yang dibawakan dengan petikan gitar akustik yang padu. Mereka menamakan diri dengan sebutan: Edcoustic.

Pada awalnya, gue pertama kali mendengar lagu Edcoustic dari sebuah pelatihan di Al-Furqon. Kala itu, salah satu pematerinya membawakan materi dengan backsound lagu yang cukup menarik. Kira-kira petikan liriknya seperti ini, "Menjadi diriku dengan segala kekurangan. Menjadi diriku atas kelebihanku~". Dan.. Sumpah, setelah itu gue langsung mencari: Lagu apa yang barusan diputeer?? >.<

Semenjak tahu bahwa yang menyanyikan itu adalah edcoustic, akhirnya gue memutuskan untuk mencari beberapa lagu mereka yang populer. Kebetulan temen-temen juga pada punya, akhirnya tanpa butuh waktu lama gue sudah menggaet lagu Muhasabah Cinta, Sebiru Hari Ini, dan Nantikanku di Batas Waktu untuk menjadi playlist di hape. Beneran deh, gue jatuh cinta sama tiga lagu itu sampe sekarang <3

Namun, semenjak insiden tahun lalu, entah kenapa gue sedikit menyayangkan karena pamor Edcoustic sempat redup. Dan lagu terakhir yang gue denger dan gue dapatkan adalah lagu ini. Kau Ditakdirkan Untukku.

Sekilas lagu ini merupakan sebuah ungkapan rasa syukur dari seorang lelaki yang telah mendapatkan pasangan hidupnya. Memang yang namanya takdir, jodoh, dan pasangan hidup ini merupakan rahasia Ilahi. Oleh karena itulah, amanah ini merupakan amanah terbesar dari Yang Maha Kuasa hingga perhitungannya sama dengan menggenapkan setengah agama kita.  Masya Allah.

Nah tanpa panjang lebar lagi, silahkan nikmati alunan merdu dari Inteam feat Edcoustic dengan lagu "Kau Ditakdirkan Untukku". Cekidoot, guys ;)

Video Inteam feat Edcoustic - Kau Ditakdirkan Untukku



Lirik Lagu Inteam feat Edcoustic - Kau Ditakdirkan Untukku

Terucap syukurku
Aku memilihmu
Tuk menjadi tempat hidup setia
Selamanya

Perlahan hati ini
Kini telah terisi
Aku dan dirimu mengikat janji
Bahagia

Dan berlayarlah kita renda keluarga
Merentas hidup bersama
Aku bahagia ku dipertemukan
Belahan jiwaku

Tuhan persatukan kami untuk selamanya
Hingga bahagia di surgamu
Pegang tanganku, tataplah mataku
Engkau ditakdirkan untukku

 Ikatan suci ini
Selalu kan kujaga
Meniti sakinah penuh kasih sayang
Dan rahmatnya

Dan berlayarlah kita renda keluarga
 Merentas hidup bersama
Aku bahagia ku dipertemukan
Belahan jiwaku

Tuhan persatukan kami untuk selamanya
Hingga bahagia di surgamu
Kau amanahku, istriku tercinta
 Engkau ditakdirkan untukku

(Dan berlayarlah kita renda keluarga
Merentas hidup bersama)

Aku bahagia ku dipertemukan
Belahan jiwaku

(Tuhan persatukan kami untuk selamanya
Hingga bahagia di surgamu)

Kamu amanahku, istriku tercinta
Engkau ditakdirkan untukku
Ditakdirkan untukku

Engkau ditakdirkan untukku~

Sebait Cinta untuk Sang Maha Cinta

Sebait Cinta untuk Sang Maha Cinta
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

Malam kelam mulai mencekam
Mengingatkanku tentang sebuah kenangan dua puluh tahun silam
Kala isak tangis terdengar di bawah pualam
Saat riuh rendah bisikmu melantunkan kalam

Detik itu akupun terenyuh
Akan ketulusan hatimu yang menyeluruh
Untuk memuja dan memuji Ia, sang Ilah
Tanpa sedikitpun ragu maupun lelah

Maka akupun jatuh cinta kepada-Nya
Kepada diri-Nya, sang Maha Cinta
Yang mengasihi dan menyayangi hamba-hamba-Nya
Dan seluruh ciptaan-Nya di seluruh alam semesta

Berikanlah pula cinta-Mu padaku ya Rabbi
Yang mencoba melantunkan kalammu setiap hari
Meski lirih kadang terucap dalam hati
Namun sebening kesungguhan senantiasa kujaga selalu.. Duhai Rabbi


Bumi Siliwangi, 24 Februari 2015

Minggu, 29 Maret 2015

ECA Lovers

ECA Lovers
By : M. Ginanjar Eka Arli

Tak, tik, tuk. Jari jemariku mulai menari lincah di atas tuts keyboard laptop. Otakku mulai berpikir kembali. Buntu. Kugarukkan kepala yang tidak gatal. Aahh! Deadline tinggal satu jam lagi!! Tapi, aku harus ikut event ini. Harus. Karena, event ini berarti untukku.. dan juga untuknya.

***

"Kang Agi, ikut kan?" Tanyanya.

Ku tengok gadis berkerudung di sebelahku. Anjani, itulah namanya. Salah satu gadis cantik dan pemberani yang pernah ku kenal. Semangatnya sungguh tak pernah padam. Membuatku iri dan selalu ingin diberikan semangat itu. Lagi.. dan Lagi.

"Maksud kamu, ikut apa, An?" Balik kubertanya kepadanya.

"Yee.. Itu lho kang. Event menulis di grup ECA. Kan kang Agi suka nulis. Sekali-sekali tulisin-lah cerita kang Agi buat aku." Pintanya manja.

"Hmm, tumben kamu minta begitu sama aku, An. Pasti kamu ada maunya yaa?" Godaku kembali.

"Iihh, apaan sih kang Agi, mah." Dicubitnya lengan kananku. Cemberut. Lucu sekali wajahnya ketika sedang ngambek begini.

"Hehe.. Aku mah masih banyak belajar untuk nulis, An. Memang, kali ini lombanya tentang apa ya?" Tanyaku penasaran.

"Ehm..," Ucapnya pelan sambil terlihat malu-malu. "Temanya itu tentang.. cinta, kang."

"Eh, cinta, An?" Tanyaku memastikan.

"Iya, kang. Hehe. Kang Agi pasti bisa. Kan kang Agi juga udah banyak pengalaman tentang cinta. Kata PJ Event-nya cinta ini nggak mesti tentang cinta kepada pasangan kita, tapi juga bisa kepada orang tua, saudara, ataupun.. sahabat dekat." Ujarnya sambil melirikku.

"Hmm gitu ya. Sepertinya menarik sih. Nanti aku coba dulu ya, An. Doakan saja, mudah-mudahan aku bisa mengikutinya." Jawabku sambil tersenyum.

"Waah, bener ya kang Agi. Janji nih? Janji jari kelingking?" Tanyanya sambil menyodorkan tangan.

"Iya, janji jari kelingking." Kataku sambil mengaitkan jari kelingkingku kepadanya. Erat dan hangat. Sore itu, kolam cinta menjadi saksi dari janji kami berdua. Ya, janjiku untuk menuliskan kisah kita berdua untuknya.

***

Kata orang, karya terbaik adalah karya yang terbuat dari hati. Namun, di saat kepepet begini, apakah "The Power of Kepepet" berlaku juga untuk memancing kembali inspirasi-inspirasi yang terdapat dalam hatiku tersebut? "Grrr..," ujarku geram. Jarum jam seakan tidak mau mengasihaniku. Padahal hanya satu kenangan yang ingin aku tuliskan. Ya, hanya satu. Kenangan itu. Kenangan yang tidak akan kulupakan sampai kapanpun.

***

"Kamu kenapa, An?" Tanyaku kepadanya.

Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar. Napasnya tak beraturan. Satu hal yang pasti, dia sakit. Namun setiap kutanya hal itu kepadanya, dia hanya menggelengkan kepalanya. "Anjani nggak apa-apa kok, kang. Akang lanjutin aja dulu karyanya. Aku mohon. Demi Anjani juga, kang." Pintanya memelas.

Hatiku gelisah. Di saat begini ia masih saja memintaku menulis? "Ya Allah, jangan biarkan bidadari hatiku terluka lebih dari ini. Cukuplah hatiku tersayat oleh keadaannya sekarang. Kumohon, berikanlah kesembuhan baginya." Doaku dalam hati.

Tanganku masih menggenggam lembut jemarinya. Sungguh, aku tak ingin ia kemana-mana. Para perawat dalam ruangan putih ini masih saja berlalu lalang. Menangani pasien yang tak henti berdatangan. Ya, aku dapat memahami perasaan mereka yang mungkin letih akan pekerjaannya. Namun, aku rasa Anjani juga butuh perawatan lebih! Kemana dokter-dokter berada pada saat seperti ini? "Aarrgh, kehidupan ini memang selalu tidak adil," ujarku kesal.

"Kang, makasih ya." Katanya tiba-tiba.

Aku menoleh kepada Anjani. Gadis berkerudung itu tersenyum kepadaku. Sebuah senyum simpul yang manis. Senyum yang pernah membuat lidahku kaku dan tak mampu berkata-kata kembali dihadapannya.

"Terima kasih untuk apa, An?" Tanyaku balik.

Ia hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kembali kepadaku. "Nggak apa-apa, kang. Anjanji hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada akang. Itu saja. Mumpung Anjani masih ada waktu dan kesempatan." Jawabnya kembali.

"An, kamu jangan ngomong gitu, An." Aku mulai khawatir pada keadaan dirinya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar kembali. Aku panik. Cairan merah tiba-tiba saja keluar dari dua buah lubang hidungnya. Tak ayal, akupun segera berteriak, "Dokteerr!!"

***

Tak, tik.. tuk. Tutsku berhenti di kalimat terakhir yang kuakhiri dengan tanda titik. Tanpa sadar, hujan telah turun tak hanya dihatiku, namun juga mengalir hangat di belahan pipiku. Basah. Memang, terkadang kenangan itu menyakitkan untuk kita kenang. Terkadang tidak semua kenangan yang ingin kita ungkapkan. Namun, kenangan ini menurutku harus disampaikan. Agar semua orang tahu. Agar semua orang dapat menjadi saksi akan perjalanan kita berdua.

Cinta, satu kata berjuta makna. Tidak pandang bulu kepada siapa ia akan berlabuh. Tidak pandang situasi apalagi kondisi untuk menarik hati. Berjuta rasa ia hadirkan untuk membuat kita tersenyum, tertawa, dan juga tersakiti. Tidak semua cinta mesti memiliki. Namun cinta yang berharga adalah yang selalu kita kenang sampai kapanpun.

Karena itulah, karya ini kupersembahkan untuk wanita yang aku kasihi. Wanita yang mempertemukan aku dengan grup kepenulisan ECA, yang telah menjadikanku salah satu bagian dari ECA Lovers, dan juga menguatkanku selalu untuk menulis dan berkarya setiap waktu. Gadis cantik nan elok rupawan, tempat aku membagi kisahku bersamanya. Kali ini, kisah ini kutorehkan khusus kepadanya. Untuk kalian para pujangga cinta, sebagai saksi dari kisah kami berdua. Juga untuk ECA, sebagai wadah pelampiasanku untuk mengukir cerita ini menjadi kisah yang abadi sepanjang masa. Terima kasih ECA. Dan selamat jalan kekasihku, Anjani.

Bumi Siliwangi, 29 Maret 2015

Sabtu, 28 Maret 2015

Jikustik - Untuk Dikenang

Tiba-tiba gue teringat dengan suatu sajak yang ada dalam buku teks Bahasa Indonesia di SD. Sajak yang membuat gue jatuh cinta dengan puisi. Barisan puisi yang mengenalkan gue dengan suatu grup musik ternama di Indonesia. Salah satu band pelopor di Indonesia yang cukup fenomenal menurut gue. Yep, mereka tidak lain dan tidak bukan adalah: Jikustik :D

Personil Band Jikustik
Sebelumnya, ada sesuatu yang unik lho oleh grup musik Jikustik ini. Sepanjang karir mereka sebenarnya cukup banyak karya yang telah dihasilkan. Namun salah satu yang mengundang perhatian adalah trilogi album terakhir mereka yang bertajuk hari, yakni: Pagi, Siang, Malam. Bahkan temen gue sampe buat jokes: "Lucu ya band Jikustik itu. Setelah album pagi, siang, malam, terus mereka langsung bubar karena hari pun sudah selesai." Jangan-jangan kalo mereka reunian kembali dan buat album baru nanti di kasih judulnya: Tahajjud atau Sahur #Eh :P

Salah satu lagu yang bakal gue ulas kali ini adalah lagu yang berada pada album ketiga Jikustik. Lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki terpisah dengan pasangannya karena sesuatu. Namun, jikalau sang perempuan rindu atau kesepian, maka sang lelaki berpesan untuk selalu mengingat dia. Hal ini tersirat dalam lirik-lirik lagu yang diukir oleh band yang berpersonil lima orang ini. Lucunya, pertama kali gue denger lagu ini, gue sendiri sempet bingung. Apakah ini lagu yang lariknya adalah sebuah puisi, atau justru sebaliknya bahwa lagu ini merupakan sebuah puisi yang dinyanyikan (musikalisasi puisi) :D

Anyway, bagi gue lagu ini mempunyai tempat tersendiri di hati. Dengan lirik yang sederhana tapi memikat, lagu ini udah sukses menyihir gue menjadi fans dari Jikustik :D

Psst, ada salah satu fakta yang unik lainnya dari jikustik, lho. Walaupun sebagian besar lagu mereka berbicara tentang cinta, tapi ternyatanya hampir tidak ada lagu mereka yang memuat kata "Cinta"-nya lho! #Wow

Nah, tanpa panjang lebar lagi, silahkan dinikmati sebuah lagu dari Pongki, dkk.
Please welcome, Jikustik with Untuk Dikenang :D

Video Jikustik - Untuk Dikenang


Lirik Lagu Jikustik - Untuk Dikenang

Ingat aku saat kau lewati
Jalan ini setapak berbatu
Kenang aku bila kau dengarkan
Lagu ini berlantun perlahan

Reff 1 :
Barisan puisi ini
Adalah yang aku punya
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Ingat aku bila kau terasing
Dalam gelap keramaian kota

Reff 2 :
Tulisan dariku ini
Mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Doakanlah aku malam ini
Sebelum kau mengarungi malam

Back to Reff 1 dan 2

Kartini

Kartini
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

    “Kamu kenapa, Del?”

    Wajah sembabnya langsung diseka. Setelahnya ia langsung berusaha tersenyum, meski wajahnya tidak dapat berbohong. Delia, remaja berumur 17 tahun itu berkata, “Tidak apa-apa, Tin. Aku baik-baik saja kok.”

    “Aku tidak percaya. Pasti ulah para lelaki itu lagi ya?” Pungkas Kartini.

    “Eh, ti.. tidak kok. Bukan mereka,” elak Delia.

    “Tunggu saja, biar aku balaskan mereka untukmu, Del.” Ujar Kartini sambil berlalu.

    “Tin, tidak, Tin. Tunggu! Kartini!!” Delia berusaha memanggilnya, namun apa daya. Kartini sudah setengah berlari ke lapangan basket. Tempat para anak-anak nongkrong di sekolahnya.

***

    “Jadi, kalian bikin ulah apalagi ke Delia hari ini?” Tanya Kartini menantang.

    Kini Kartini berhadapan dengan lima orang pria bertubuh tinggi dan tegap. Sadam, Bambang, Husein, Ali, dan Jono. Mereka adalah para atlet basket di sekolahnya. Tidak ada yang berani menantang sebelumnya karena mereka adalah bintang di sekolah itu. Berkat kelima orang tersebut, sekolah Kartini pernah mendapat juara basket antar wilayah. Semua orang segan kepada mereka. Kecuali... Kartini.

    “Hey, kalau ada yang ngomong itu dijawab!” Tanya Kartini kembali. Kesal.

    Kelima orang tersebut tertawa. Salah satu pentolan geng tersebut, Jono, akhirnya menjawab. “Ckck, Kartini. Kamu lagi, kamu lagi. Salah kita apa sih? Diam salah. Ngomong salah. Jangan-jangan kamu naksir ya sama kita?” Tawa mereka meledak kembali.

    Wajah Kartini merah padam. Merasa dilecehkan, Kartini pun membalas, “Jangan mentang-mentang kalian laki-laki dan kami perempuan ya! Zaman sekarang ini sudah berlaku yang namanya emansipasi wanita! Kodrat wanita itu sudah diangkat, jangan sekali-kali kalian merendahkan kami kembali. Apa kalian tidak belajar sejarah?”

    “Wah.. Wah.. Ibu Guru mulai ceramah lagi ya, Bu.” Salah seorang dari mereka berucap. Kali ini giliran Bambang, pemain Center pada kelompok mereka, pria berketurunan Jawa yang angkat bicara. “Kalau mau ngajar mah di kelas, Bu. Bukan di lapangan basket!” Ledeknya.

    Tawa mereka kembali berhamburan. Kartini hendak meluapkan kembali amarahnya. Namun tiba-tiba saja Delia datang dan menengahi mereka. “Sudah, Tin. Biarkan saja mereka. Aku tidak apa-apa kok. Kita kembali ke kelas saja ya.”

    “Tapi..,” Kartini hendak menolak. Namun tiba-tiba bel sekolah berdering. Kriing!

    “Baiklah, saatnya cabut. Sampai ketemu lagi, jeng Kartini.” Ujar Ali sambil menepuk pundak Kartini.

    Kartini hendak berbicara kembali kepada mereka namun dari kejauhan sudah tampak Pak Wayan, wakil kepala sekolah bidang kemahasiswaan. Kepala botaknya bersinar dan seketika murid-murid segera berlarian kembali ke kelasnya masing-masing. Takut dimarahi. Kali ini Kartini mengalah, “Suatu saat nanti aku harus membalas mereka.” Pikirnya dalam hati.

***

    “Kamu kenapa sih, Tin. Suka banget cari gara-gara sama mereka.” Ujar Delia membuka percakapan di kelas.

     Kartini menoleh kepada teman sebangkunya. Wanita yang telah dikenalnya selama satu tahun itu akhirnya angkat bicara. Memang selama ini ketika Delia diganggu oleh para pria berhidung belang di sekolahnya, hanya Kartinilah yang mampu membelanya. Anak-anak lain tidak ada yang berani melawan mereka karena status mereka yang diistimewakan di sekolah itu.

    “Del, bukannya aku yang cari gara-gara sama mereka. Tapi mereka tuh yang ngusilin kamu duluan. Aku nggak tahan sama sifat mereka, Del. Cowo kayak gitu sih harus di labrak, kalo didiamkan terus nanti mereka ngelunjak!” Jawab Kartini kesal.

    Delia diam sejenak. Memang benar sih, selama ini kelima pria yang mengganggu Delia itu selalu didiamkan oleh semua orang. Tapi dia juga tidak tega kalau teman sebangkunya, cewe paling berani di sekolah ini, yang harus membalas mereka.

    “Sekarang itu zamannya emansipasi wanita, Del. Kita sebagai kaum hawa jangan mau dimainkan terus oleh mereka! Sudah saatnya para wanita dianggap sederajat dengan kaum pria. Tugas kita bukan lagi hanya diam di dapur dan melayani suami di rumah. Sekarang ini kita pun sudah bisa mendapat pekerjaan yang layak seperti mereka. Jadi wanita karir, diplomat, guru, dan sebagainya.” Tambah Kartini.

    Delia semakin kagum dengan tingkah laku dan pemikiran Kartini yang optimis dan berani itu. “Kamu itu, Tin. Memang seperti Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita itu. Sungguh, aku berharap akupun bisa sepertimu. Berani, tegas, dan mulia. Membela kaum wanita agar tidak tertindas oleh para pria di negeri ini.”

    Kartini hanya tersenyum mendengar perkataan Delia. Seperti namanya yang harum bak sepucuk bunga. Kartini pun hendak menjadi sosok wanita yang dapat mengharumkan derajat para wanita dengan perjuangannya. Membela emansipasi wanita, melawan penindasan dari kaum pria, dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk ikut ambil andil dalam perjuangan ini. Sungguh besar dan mulia cita-citanya tersebut. Layaknya pahlawan pemberani yang namanya sama seperti ia, Raden Ajeng Kartini.

    “Tenang saja, Del. Aku yakin kamu pasti bisa sepertiku. Insya Allah.” Tutup Kartini.

    Siang itu, awan bermain lembut di atas langit. Matahari bersinar cerah, menjadi saksi hidup atas kisah mereka berdua. Kisah perjuangan dua remaja yang kelak akan menorehkan garis sejarah pada kaum hawa. Membela dan memperjuangkan emansipasi wanita di negara mereka. Negara yang perbandingan jumlah wanita dan prianya sudah satu banding empat. Indonesia.
           
Bumi Siliwangi, 28 Maret 2015

Rabu, 25 Maret 2015

Tentang Penulis: Biografi M. Ginanjar Eka Arli

Meskipun rasa kantuk melanda, berbagai perasaan berkecamuk di dada, tapi demi kalian para (pembaca setia blog gue) dan juga demi azzam dalam diri ini, maka gue coba sisihkan beberapa waktu gue untuk meng-update blog ini. Semangat! :D

Hehe.. Sebelum dimulai, gue mau menyapa dulu pembaca setia blog gue.. Kumaha damang sadaya? :)

Alhamdulillah pada malam hari ini, gue mau melanjutkan postingan gue kemarin yakni tentang biografi. Kebetulan karena di Al-Qolam (salah satu UKM di UPI yang bergerak di bidang kepenulisan islami) gue mendapatkan tugas untuk membuat biografi, nah kali ini gue mau sedikit sharing tentang karya gue tersebut :)

Mungkin ini bukan biografi terbaik yang pernah kalian baca. Gue juga belum tahu nih apakah sudah baik ataukah belum biografi yang gue buat. Tapi mudah-mudahan nanti kita bisa diskusi ya apabila ada kata-kata yang kurang tepat, kalimat yang belum jelas, dan lain sebagainya. Tapi pada dasarnya, yang gue ceritakan dalam biografi ini adalah sekilas tentang hidup gue, tentu ada biodata diri dan sebagainya, sedikit tentang keluarga gue, riwayat pendidikan, hingga sekilas tentang kisah hidup dan prestasi gue selama berada di UPI.

Biodata ini secara umum gue rancang seperti biodata yang terletak di akhir buku pada umumnya. Nah, daripada penasaran, mending kalian langsung baca aja deh yaa.. :D

Tanpa ba-bi-bu lagi, mangga ditampi karyanya.. Selamat menikmati~ ;)

=========================================================================

Tentang Penulis

Penulis bernama lengkap Mochammad Ginanjar Eka Arli. Pemuda yang biasa disapa Agi ini lahir di Cianjur, 8 Februari 1993. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya, Mochammad Arief Perdana Putra, merupakan seorang wiraswasta. Sementara Ibunya, Nurlia, saat ini beraktifitas sebagai Ibu rumah tangga biasa. Adiknya yang pertama, Mochammad Zaky Dwi Arli, saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Nasional tingkat SMA. Adapun adiknya yang kedua, Farah Tarisya Tri Arli, telah berpulang ke rahmatullah semenjak lima tahun yang lalu karena terkena penyakit DBD.

    Selama delapan belas tahun, pemuda yang senang mendengarkan musik ini telah menempuh pendidikan di kota tapis berseri. Setamat dari SD Al-Kautsar Bandar Lampung, SMP Negeri 4 Bandar Lampung, dan SMA Negeri 9 Bandar Lampung, laki-laki yang gemar berhitung ini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di tingkat yang lebih tinggi. Pilihannya jatuh ke sebuah kampus negeri di kota kembang, pencetak para pendidik berkualitas dan merupakan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang pertama kali berdiri di Indonesia. Kampus tersebut kini kita kenal dengan sebutan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

    Memasuki bangku perkuliahan, ia memiliki tiga buah cita-cita yakni sukses akademik, sukses berwirausaha, dan sukses berorganisasi. Cita-cita yang pertama diraihnya dengan menjalin hubungan yang erat dengan teman-teman sejurusannya. Meski berasal dari luar pulau, namun pria yang menempuh study di Departemen Pendidikan Matematika ini membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dengan teman-teman sejawatnya. Hal ini terbukti melalui prestasi akademiknya yang tetap terjaga dengan IPK > 3,00.

    Selain itu untuk membantu meringankan beban orang tuanya, mahasiswa perantau ini akhirnya memutuskan untuk belajar berwirausaha. Adapun langkah-langkah yang ia jalani yakni berkumpul dengan teman-teman sedaerahnya untuk membuat usaha bersama dan juga bergabung dengan salah satu organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang bergerak di bidang kewirausahaan yakni Koperasi Mahasiswa Bumi Siliwangi UPI (Kopma BS UPI). Dari organisasi tersebut ia mendapatkan banyak sekali ilmu, mulai dari softskill, jaringan (link) lintas jurusan, fakultas, bahkan kampus, dan juga pengalaman yang tidak tergantikan. Hal ini kemudian berimbas pada cita-citanya yang ketiga yakni untuk menggapai sukses organisasi.

    Ketika SMA dulu, Agi merupakan aktivis ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) dan Karya Ilmiah Remaja (KIR). Kecintaanya terhadap dunia keislaman dan kepenulisan berawal dari dua organisasi ini yang kemudian dikuatkan dengan dorongan dari guru bahasa Indonesianya, Bu Vega. Ketika memasuki perkuliahan, semesta akhirnya menakdirkan ia bertemu dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mewadahi minat dan bakatnya di kedua bidang tersebut, yaitu UKM Kepenulisan Islami Al-Qolam UPI. Atas izin Allah Swt., karirnya di Al-Qolam berkembang dengan pesat, dimulai dari Ketua Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) tahun 2013, kemudian diamanahi sebagai Ketua Umum tahun 2014, hingga kini dipercaya menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) tahun 2015.

    Meskipun tergolong UKM yang masih belia, namun Al-Qolam cukup berpengaruh pada prestasi Agi dalam bidang kepenulisan. Setelah di SMA pernah mendapat juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat SMA Se-Provinsi Lampung, di tahun 2014 Agi mulai mengukir kembali prestasinya dalam menulis, baik sebagai peserta maupun sebagai juri lomba kepenulisan. Beberapa penghargaan yang pernah ia raih diantaranya: Juara 1 Lomba Kata Mutiara Sahabat IMTEK Islamic Championship 2014, Juara 1 Lomba Menulis Artikel oleh FKM SPs UPI 2014, Juara 2 Lomba Menulis Cerpen dan Puisi oleh Tutorial PAI-SPAI MKDU UPI 2014, Juara 2 Lomba Menulis Puisi oleh Penerbit Bintang Pelangi 2015, Juara 2 Lomba Menulis Esai oleh Aria Mandiri Publisher 2015, juri lomba cerpen islami Gema Ramadhan Fisika (GRAFIKA) 1434H tingkat nasional oleh Himpunan Mahasiswa Fisika (HMF) FPMIPA UPI 2014, dan juri lomba cerpen islami Bakti Formica untuk Bangsa (BFUB) XVII tingkat nasional oleh Himpunan Mahasiswa Biologi Formica (HMBF) FPMIPA UPI 2015.

    Beberapa karyanya sudah diterbitkan dalam beberapa antologi bersama, diantaranya: Antologi Kumpulan Makna “MAMA” (Raditeens Publisher, 2014), Antologi Cerpen “Warna Hujan di Hariku” (AE Publishing, 2015), Antologi Puisi “Hujan” (Aria Mandiri Publisher, 2015), Antologi Puisi “Kisah dalam Tasbih” (Aria Mandiri Publisher, 2015), Antologi Esai “Sukses Terbesar dalam Hidup” (Aria Mandiri Publisher, 2015), Antologi Puisi “Love and Tears” (Penerbit Bintang Pelangi, 2015), Antologi Puisi “Third” (Ellunar Publisher, 2015),  dan Antologi Puisi “Menata Puzzle Asa” (Penerbit Asrifa, 2015).

    Penulis yang bercita-cita menjadi pendidik ini sangat senang untuk berbagi. Bagi yang ingin berkenalan lebih lanjut, penulis dapat dihubungi melalui kontak/WA: 087822143575, facebook: www.facebook.com/mginanjar.ekaarli, twitter/line: @agi_eka, BBM: 7E956064, pos-el: m.ginanjarekaarli@gmail.com, atau dapat juga mengunjungi blog pribadinya di: www.the-sealovers.blogspot.com.

Selasa, 24 Maret 2015

Yuk Tuliskan Kehidupanmu!

Bismillah, udah lama juga ya tidak bersua dengan teman-teman di blog ini. Haha tepatnya udah sekitar satu bulan gue vakum dari peradaban blogger. Alasannya? Banyak! Salah satunya memang karena faktor kesibukan yang sudah semakin tak menentu, terutama di sekolah. Ya, sekolah.

Menginjak semester 8, gue mulai memasuki masa-masa terakhir perjuangan di kampus. Kali ini arena pertarungannya di tempat yang baru, suatu tempat yang megah dan besar dengan pepohonan rindang menghiasinya. Tempat kita belajar mencontek (#Eh) dan juga belajar untuk ngeles (mencari-cari alasan) ketika ketemu guru. Sesuatu yang kalian gunakan untuk mengukir kenangan moment sweet seventeen bersama teman2 kalian. Ya, suatu tempat itu kita sebut dengan istilah: Sekolah.

Tapi kali ini gue juga gak bakal bercerita dulu tentang sekolah, nanti lah akan ada porsi tersendiri untuk hal tersebut :D

Yang bakal gue bahas malem ini yaitu tentang hasil kajian gue sore tadi, yaitu: Biografi.

Seperti biasa, selasa sore selalu diagendakan anak-anak Al-Qolam untuk mengadakan Diskusi Kepenulisan (Dispen) yang bertempat di koridor ikhwan masjid Al-Furqon UPI. Kali ini narasumber kami berasal dari seorang gadis berkerudung yang sedang menjabat juga sebagai salah satu Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Al-Qolam 2015. Beliau memiliki nama lengkap: Nurul Lutfia :)

Suasana diskusi kepenulisan, Selasa (24/3)
Karena dispen kali ini diadakan pada minggu keempat, maka sesuai dengan silabus yang ada kali ini Nurul mengadakan dispen khusus bertema "Bedah Karya Anggota." Adapun anggota yang beruntung di bedah karyanya yaitu: Rahma Nur Amalia, kepala divisi Pelatihan dan Bimbingan Al-Qolam. Kali ini sekali lagi Nurul menjelaskan seputar pengertian Biografi dan Autobiografi. Kenapa? Karena ternyata masih banyak yang belum mengerti pengertian dan perbedaan dari kedua istilah tersebut.

Bagi kalian yang belum tahu, disini gue bakal ngejelasin sedikit. Pada dasarnya biografi memang memiliki berbagai macam bentuk. Jika dilihat berdasarkan penulisnya, biografi memang terbagi dua yakni Biografi dan Autobiografi. Sebuah karya dikatakan Biografi apabila menceritakan tentang seseorang dengan sudut pandang orang ketiga. Penulis biografi boleh saja orang yang sedang diceritakan tersebut. Tidak ada masalah karena yang paling penting adalah pada Point of View (POV)-nya. *Berdasarkan kesimpulan diskusi tadi sore, mohon diluruskan apabila salah ^^

Adapun sebuah karya dikatakan autobiografi yakni jika karya tersebut menceritakan seseorang dan ditulis berdasarkan sudut pandang orang pertama. Sekali lagi, yang ditekankan adalah Point of View (POV)-nya. Bisa saja penulis meminta jasa orang lain sebagai Ghost Writer (Penulis bayangan) ataupun co-writer (penulis pembantu) sebagai rekannya dalam menulis karya tersebut. Hal ini diantisipasi apabila penulis memang belum mempunyai skill yang memadai dalam hal kepenulisan. *Lagi-lagi berdasarkan kesimpulan diskusi kami tadi sore, mohon diluruskan apabila salah ^^

Dalam menulis suatu biografi maupun autobiografi, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Hal yang harus diperhatikan tersebut diantaranya adalah konten-konten yang wajib dimuat dalam karya tersebut. Konten tersebut meliputi: biodata diri (tempat tanggal lahir, orang tua, pekerjaan, aktifitas, dan sebagainya), kemudian dapat ditambahkan juga dengan riwayat pendidikan (SD, SMP, SMA, berkuliah, hingga pekerjaan yang sedang ditempuh saat ini), aktifitas yang sedang dijalani, prestasi yang pernah diraih, harapan atau cita-cita yang ingin digapai, foto diri, dan juga hal yang unik dalam diri kita.

Yang menarik adalah poin terakhir yaitu hal yang unik dalam diri kita. Hal unik ini bisa berupa apa saja, salah satu contohnya adalah kebiasaan kita yang tidak biasa. Misalnya: Pria yang terbiasa menulis pada waktu malam ini gemar juga menyeduh kopi sebagai temannya dalam berkarya. <- Kalimat tersebut menggambarkan kebiasaan begadang dari penulis dengan kopi sebagai teman bermalamnya. Hal ini cukup unik karena setiap penulis berbeda-beda dalam hal golden time menulisnya dan juga kebiasaannya ketika merampungkan karya. Bisa saja ia menulis sambil ngemil makanan ringan, menulis ketika sedang di perjalanan pulang dari kampus ke rumah (bisa saja jarak rumahnya jauh), dan lain sebagainya.

Sebagai penutup, ada satu pertanyaan dasar dari gue untuk kita semua. Kira-kira apa sih pentingnya kita belajar menulis suatu biografi?

Merupakan rahasia umum bahwa menulis adalah salah satu resep awet muda. Kenapa? Karena menulis membuat kita dikenang sepanjang masa, tentunya dengan karya-karya kita. Bukan jiwa maupun raga. Ketika kita membuat suatu karya tulis, tentu orang-orang pasti ingin tahu siapa penulis dari karya tersebut. Hal tersebut biasanya dapat kita ketahui dari melihat konten "Tentang Penulis" yang terletak di bagian belakang buku. Nah konten tersebutlah yang kita katakan sebagai Biografi singkat penulis.

Terakhir dari gue, kesimpulan dari tulisan ini adalah: Sebagai calon penulis tentu kita harus belajar tentang cara menulis biografi. Meskipun bukan biografi orang lain, minimal biografi kita sendiri yang akan dirampungkan dalam karya milik kita pribadi, itulah hal yang akan kita tulis. Pada umumnya, biografi singkat di akhir buku tidak terlalu panjang, hanya sekitar 1-2 halaman saja. Agar orang-orang dapat mengetahui kita, maka menulislah. Tuliskan kisah hidupmu dalam biografi singkat tersebut, tentunya jangan melupakan hal unik yang ada dalam dirimu. Karena bisa jadi, yang akan diingat oleh orang bukan nama, tempat tanggal lahir, maupun hobimu, akan tetapi hal terunik yang engkau ceritakan dalam biografimu :)

So, Yuk Tuliskan Kehidupanmu! :D

PS : Maap ya kalo tulisan kali ini banyak campur-campur bahasa. Maklum, sedang mencoba menata kembali ide-ide yang berserakan dan impian-impian yang sempat terkubur. Mudah-mudahan kali ini bisa diistikamahkan kembali program #OneDayOnePost-nya. Hehe, mohon doanya ya! (@agi_eka)

Senin, 23 Maret 2015

Di Koridor Masjid Itu

Di Koridor Masjid Itu
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

Disana tempat kita berkumpul
Bersua, berbagi canda maupun tawa
Di tengah padang rumput yang membentang
Sembari ditemani sepoi angin membisik dari kejauhan

Disana tempat kita belajar
Berbagi ilmu dan untaian kisah hikmah
Dari gadis cantik berkacamata
Yang kian memaparkan ceritanya dalam merangkai kata

Disanalah engkau dapat menemukan kita
Para prajurit pena yang siap menggoreskan tinta hikmah
Yang konon katanya lebih berat daripada darahnya para syuhada
Disana, di koridor masjid itu


Bumi Siliwangi, 24 Februari 2015

Minggu, 22 Maret 2015

Senja di Selasar Masjid Itu

Senja di Selasar Masjid Itu
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

    “Ka..,” ucapku pelan.
    
    Perlahan ia memalingkan wajahnya kembali. “Iya, kak?” jawabnya singkat.

    “Ehm.. Nggak papa, sih. Hehe. Hati-hati di jalan ya.”

    Ia menatapku sejenak. Bingung. Tapi sedetik kemudian ia pun membalas, “Oke, kak. Kakak juga ya!” Senyumnya mengembang.

    Dan hari itu, matahari senja menjadi saksi kebisuanku untuk kesekian kalinya. Hari itu, lagi-lagi aku tidak bisa mengungkapkannya.

                                                                       ***

    “Gi, makan nggak?”

    Kulihat orang yang berada disebelahku. Agus, ia adalah sahabatku semenjak tingkat satu di perkuliahan ini. Perawakannya kecil, tapi agak berisi. Dengan rambut bergelombang dan jenggot tipis di dagunya, menambah aura “Rohis” bagi dirinya. Memang, dia adalah salah satu aktivis Lembaga Dakwah Kampus disini.

    “Nggak tahu nih, Gus. Lagi nggak nafsu.” Jawabku singkat.

    Tiba-tiba ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke depanku. “Kenapa, Gi? Lagi ada masalah ya?” Tanyanya.

    “Nggak, Gus. Biasa aja.” Balasku.

    “Bohong!”

    “Yee, nggak percaya. Terserah aja sih.” Acuhku kepadanya.

    Kulihat ia terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba disentuhnya pundakku, “Gi, kita udah kenal selama tiga tahun. Tiga tahun! Aku tahu kalau kamu lagi ada masalah. Cerita aja!”

    Diriku terpana. Tak kusangka Agus begitu perhatian kepadaku. Memang katanya orang Jawa itu ramah, baik, dan perhatian kepada orang-orang yang mereka kenal. Aku baru percaya kalimat itu setelah bertemu Agus, orang asli Wonogiri ini.

    “Baiklah, tak ada salahnya juga jika kuceritakan masalah ini kepadanya,” pikirku dalam hati.

    Ku tarik napas sejenak. “Jadi begini, Gus... sebenarnya ada sesuatu yang memang sedang kupikirkan.” Kutatap matanya dalam-dalam seraya ingin mencurahkan segenap perasaanku melalui mataku ini. Ia pun membalas tatapanku dan menjawab singkat, “Teruskan, Gi.”

    “Lebih tepatnya, ini merupakan salah satu penyakit mahasiswa tingkat akhir, Gus. Jika kamu tahu maksudku.”

    Agus kelihatan bingung. Diliriknya sebentar ke sekitar tempat kita duduk. Selasar masjid kampus ini kelihatan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa kelompok sedang berdiskusi dengan ramai. Bercanda tawa sambil mengerjakan tugas. Mahasiswa.

    “Maksud kamu, Gi? Tentang virus itu...?” Tanyanya tidak yakin.

    “Iya, Gus. Kayaknya aku mulai kena VMJ.”

    Ditutupnya wajah dengan kedua tangan. Ia seakan-akan diam seribu bahasa. Entahlah apa yang dia pikirkan sekarang. Namun ku yakin, banyak yang berlalu lalang di pikirannya saat ini seperti jalanan Bandung di kala weekend. Padat merayap.

    “Jadi, begitu toh...” ujarnya pelan.

    Sontak ku lihat ia kembali. Senyum tipis kini mengembang di wajahnya.

    “Ternyata seorang Agi pun sekarang udah dewasa!” Godanya sambil tertawa.

     “Hus! Jangan gitu ah, Gus. Aku kan jadi malu.” Timpalku.

    “Hehe.. Lalu, siapakah gadis yang beruntung itu, Gi? Apakah aku mengenalnya?”

    Kupikir sejenak. “Sepertinya tidak, Gus. Aku juga sebenarnya tidak sengaja bertemu dengannya di suatu acara. Ketika itu, kami duduk bersebelahan. Entah kapan dimulainya, tiba-tiba saja kami sudah mengobrol dengan akrab dan sampai saat ini kami sesekali masih bertemu atau mengobrol via sms atau facebook. Dia memang satu kampus dengan kita, tapi kurasa tidak banyak yang mengenalnya karena dia aktif di luar kampus.”

    “Hmm.. Begitukah, Gi? Lantas apa yang menarik dari dirinya?” Tanya Agus menyelidik.

    “Aku juga sebenarnya nggak tahu sih, Gus,” pikirku menimbang, “Mungkin karena parasnya yang menawan, tutur lembut bahasanya, kesamaan hobi kami, dan juga ... dia seorang calon pendidik dan hafidzoh.” Pungkasku.

    “Hafidzoh, Gi?”

    “Iya, Gus. Dan hal itu pula yang membuat aku kurang percaya diri. Kamu pikir aku bisa bersanding dengan hafidzoh, Gus? Itu bagaikan punduk merindukan rembulan. Mimpi!” Sambarku.

    Suasana hening kembali. Terik matahari mulai terasa kembali di luar sana. Sepertinya ia sudah sabar ingin cepat-cepat berganti dengan rembulan. Sahabat karibnya semenjak dahulu kala. Di saat aku sedang menikmati semua itu, tiba-tiba Agus mulai berbicara kembali.

    “Gi,” ucap Agus sambil menatapku, “Sepertinya kamu harus belajar satu hal.”

    Rasa penasaranku timbul. “Apa itu, Gus?”

    “Kamu tahu kenapa ada peribahasa ‘Bagaikan punduk merindukan rembulan’? Itu karena punduk tidak pernah berani untuk mengambil resiko menjemput sang rembulan. Ia terdiam, tertatih, dan membisu. Berharap sang rembulanlah yang akan mendatanginya suatu hari nanti.”

    “Namun...,” tambahnya lagi, “Kamu juga perlu tahu bahwa ada kalimat lain dari Rasulullah Saw. yang berbunyi ‘Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula.’ Kamu laki-laki yang baik, Gi! Aku yakin itu. Dan kamu berhak untuk mendapatkan perempuan yang baik, seperti dia.”

    Aku tertegun sejenak. “Tapi, Gus....”

    Brakk!! Kepalan Agus meninju lantai di antara kami. “Nggak ada tapi-tapi, Gi. Kamu itu harus optimis! Ucapan ‘tapi’ itu hanya untuk orang pesimis. Dan aku nggak suka itu keluar dari mulut kamu, Gi.”

    Detik itu aku baru sadar bahwa ternyata Agus adalah orang yang cukup keras. Pria kecil tapi bercita-cita besar ini benar-benar menampar lubuk hatiku yang terdalam. Mungkin benar adanya, karena aku yang selalu menunda dengan ‘tapi-tapi’ akhirnya akulah yang menuai kebimbangan dan keraguan. Mungkin betul juga yang dikatakan Agus, karena aku yang terus mencari alasan, akhirnya bisikan syaitan lah mengusik hati kecilku dan hampir membuatku mengumbar perasaan ini padanya. Perasaan suci yang harusnya kita tali dengan ikatan yang ‘sah’. Siapkah diriku? Tanyaku kembali pada diri ini.

    “Di kala senja ini, Gus. Pernah suatu kali aku hampir mengungkapkan perasaan ini padanya.” Ucapku sambil mengenang. “Di selasar inilah, aku selalu saja gagal mengatakan hal yang ingin kukatakan kepadanya. Aku ragu, bimbang! Benarkah aku pantas untuk mendampinginya? Matahari senja selalu menjadi saksi kebisuanku padanya. Setiap hari, setiap waktu. Hingga saat ini”

     “Hmm jadi gini ya, Gi.” Ujar Agus seperti ingin menasihatiku. “Wajar apabila kamu selalu gagal mengungkapkan perasaan ini padanya. Kamu tahu kenapa? Karena bukan di selasar masjid inilah tempat yang tepat untukmu mengungkapkan perasaan itu. Tapi di selasar rumahnya! Di hadapan kedua orang tuanya! Disanalah tempatmu seharusnya mengatakan segala yang perlu kau katakan. Untuk mengikatnya, menjanjikannya kebahagian, dan meniti jalan bersama menuju surganya. Percayalah padaku, kamu pasti bisa meyakinkannya.”

    Wajah Agus begitu yakin kepadaku. Entah mengapa ada semangat baru yang menelisik dalam diri ini. Ya Allah, sudah hampir empat tahun aku menjalani hidup sebagai agent of change, aktivis keislaman di kampus ini. Kini benarkah sudah siap untuk diriku mengambil keputusan ini?

    “Percaya padaku, Gi. Kamu pasti bisa bersanding dengannya.” Ucap Agus sekali lagi meyakinkanku.

Hembusan angin datang menemani kami berdua. Di tengah selasar masjid kampus yang damai ini, perlahan matahari pun dengan malu-malu memberikan kehangatannya. Seraya menambah semangat diri ini akan sebuah harapan. Meskipun tak secerah mentari di siang hari, namun diri ini pasti bisa menjadi selembut dan setenang rembulan di malam hari dalam meraih impian. Seraya mengingat mantra ajaib itu, Man Jada wa Jadda. Insya Allah senja ini adalah senja terakhir yang menjadi saksi akan keraguanku. Dengan memantapkan hati dan memantaskan diri. Tunggulah aku di selasar rumahmu. Segera, ku kan menjemputmu. Kekasih hatiku.
                      
                                                                                           Bumi Siliwangi, 22 Maret 2015