Sabtu, 26 September 2015

Surat Cinta Untukmu

#Day 4

Mungkin aku benar-benar terinspirasi dari salah satu blogger dengan kisah cintanya yang memikat para pembacanya. Disana ia bercerita tentang perjuangannya menjemput seorang gadis pujaan dan menorehkan tinta perjuangan di diary onlinenya.

Maka disinilah aku sekarang. Tidak bermaksud untuk menirunya, namun hanya berharap surat cinta ini satu demi satu bisa tersampaikan kepadamu suatu hari nanti. Aku tidak tahu apakah surat cinta ini akan sampai ataukah tidak. Apakah kau tahu ataupun tidak. Apakah kau akan perduli maupun tidak. Yang kutahu, aku menuliskan ini untukmu tanpa perduli apa sikapmu padaku.

Duta pernah berkata dalam tembangnya, "Selamanya hanya kubisa memujamu. Selamanya hanya kubisa merindukanmu." Tapi aku tidak percaya sepenuhnya pada statement itu. Aku memang pemuja rahasiamu untuk saat ini, yang mengagumimu secara diam-diam, dan berharap kau akan mau denganku suatu hari nanti. Namun aku pun telah memutuskan untuk memperjuangkanmu dan hal itulah yang akan terus aku pertahankan.

Sebelum janur kuning melengkung, maka tekadku pun akan terus membulat. "Bukan cinta yang memilihmu tapi Allah yang memilihmu untuk kucintai." Semoga petikan lirik dari kang Abay ini memang benar untukmu. Dan surat cinta ini akan terus kutulis sampai hari dimana aku tidak bisa menyebut namamu lagi. Dalam surat, buku harian, dan percakapan sehari-hari. Hari dimana aku tidak bisa mengetik namamu lagi dan membuat satupun surat cinta untukmu.

Pasha pun turut berdendang, "Ku ingin kau tahu diriku disini menanti dirimu. Meski kutunggu hingga ujung waktuku. Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya." Sampai disini aku mulai merasa menjadi lelaki melankolis. -_-

Sebelum menjadi semakin galau karena malam, lebih baik kulunaskan dulu hutangku sampai disini. Kisah apalagi yang akan kutulis besok? Semoga bisa menjadi sepucuk surat cinta lagi. Untukmu.

Rezeki

#Day 3

Aku selalu berpikir, apa yang akan aku berikan ketika nanti telah bersama dengan dirimu? Ketika kita nanti akan bersama artinya akan ada sebuah tanggung jawab baru bagi diriku. Bukan saatnya lagi untuk berpikir bagaimana mengisi perutku, tapi juga soal perutmu. Aku bisa saja tidak makan, tapi dirimu? Aku tidak mungkin membiarkanmu kelaparan dan membuat calon buah hati kita nelangsa.

Modal utama dalam menjemputmu bukanlah cinta semata, tapi juga keberanian dan harapan. Cinta saja tidaklah cukup karena aku tidak akan bisa mengenyangkan perutmu hanya dengan cinta. Namun keberanian dan harapan adalah kombinasi sempurna yang dapat meyakinkan kedua orang tuamu untuk mempercayakan anaknya kepadaku.

Keberanian melambangkan optimisme. Dengan sikap berani akan mencerminkan ketegasan dan rasa tanggung jawab dari diriku. Harapan timbul berdasarkan visi. Jika aku adalah orang yang penuh perencanaan, maka harapan hidupku akan semakin besar. Lalu kamu, serta orang tuamu, akan yakin kepadaku dan mereka berhak mempercayakan putrinya untuk hidup bersamaku.

Satu lagi kejadian hari ini adalah saat dimana aku percaya bahwa rezeki memang sudah diatur. Tidak ada angin, hujan, maupun badai, malam ini aku diajak untuk menikmati sajian khas kota maranggi ini di tempat asli pembuatannya. Makanan yang katanya benar-benar "Ori" dan mungkin hanya dalam mimpi aku bisa mencicipinya. Ya, suatu saat nanti kau pun harus mencicipinya. Aku janji suatu hari nanti akan mengajakmu kesana jika kita memang ditakdirkan untuk bersama.

Rezeki, sekali lagi memang rahasia ilahi. Ketika dua insan bersatu, katanya adalah menggabungkan rezeki dari dua orang yang berbeda. Maka muncullah para motivator dengan semangat #NikahMuda untuk mengompori anak-anak yang masih takut akan rezeki dan penghasilan. Sekali lagi, bukan masalah bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau. Karena yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya keberanian dan harapan, kombinasi sempurna yang dapat meyakinkan kedua orang tua untuk melepaskan anaknya bersama kita.

Maka disinilah aku sekarang, sedang menanam asa dengan pupuk keberanian dan harapan. Jika asa tadi telah tumbuh dan berkembang, di saat itulah aku akan datang dan menawarkannya kepadamu dan keluargamu. Tunggu aku disana, semoga engkau pun dapat bersabar menungguku. Dan di saat engkau lelah untuk menunggu, mudah-mudahan rindu kita akan bertemu di langit harapan. Semoga.

Ekspektasi

#Day 2

Kau tahu? Terkadang apa yang kita pikirkan lebih menakutkan daripada apa yang kita temukan. Kemarin saat aku membayangkan akan menghadapi dua ribu orang, empat ribu pasang mata, dan dikelilingi oleh ribuan siswa, nyatanya sepersepuluhnya saja tidak. Semua kekhawatiranku sirna sudah. Bahkan berbagai rencana yang aku persiapkan sebelumnya, lenyap tak berbekas dalam sekejap.

Ya, terkadang ekspektasi yang kita pikirkan jauh dari kenyataan yang kita temukan. Di saat kita takut untuk menghadapi sesuatu, ternyata saat kita berhadapan langsung dengannya justru akan terasa lebih mudah. Lantas aku berpikir, jika memang menjemputmu adalah suatu keharusan, apakah rasanya nanti akan jauh berbeda dengan apa yang aku pikirkan sekarang? Segala ketakutanku akan pertanyaan-pertanyaan dari Ayah dan Ibumu nanti, apakah itu hanya akan ada di benakku saja dan tidak akan pernah terjadi di kemudian hari?

Kata temanku yang baru saja diwisuda, "Akan ada saatnya kita bisa mengatakan 'Sidang pasti berlalu' dan 'Ternyata sidang itu hanya seperti itu saja kok.'" Lantas, aku pun meyakini akan tiba saatnya pula dimana kita bisa berkata, "Ternyata ijab qabul hanya seperti itu saja kok" dan "Jomlo pasti berlalu."

Ya, sesuatu yang diucapkan terlihat mudah tapi pertanggungjawabannya yang sangat berat. Saat dimana mengikat janji antara dua hati untuk menjalani kisah sehidup dan semati. Itulah hidup dengan segala pilihan-pilihannya. Dan dirimu? Adalah juga pilihanku untuk saat ini. Semoga jua bisa aku pertahankan sampai nanti dan seterusnya.

"Aku mencintaimu karena aku memilih untuk mencintaimu - Itu saja. Bukankah cinta lebih butuh pembuktian daripada alasan?"

(Azhar Nurun Ala dalam "Cinta Adalah Perlawanan")

Kamis, 24 September 2015

Nervous

#Day 1.8

Sore ini aku mendapat kabar tak terduga. Besok, tepatnya pagi-pagi sekali, aku diminta untuk berkolaborasi dan mempromosikan lembaga tempat aku bekerja. Mungkin terdengar sudah biasa, tapi jika kau tahu bahwa aku akan berbicara di depan dua ribu peserta dalam waktu satu jam? Ya, itu cukup untuk membuatku mati rasa.

Aku membayangkan apa yang akan kukatakan besok di hadapan mereka semua? Dua ribu siswa dengan berbagai macam karakter asal kota simping ini membuatku cemas dan gundah gulana. Haruskah aku bercanda? Menertawai diriku sendiri dengan dalih melakukan stand up comedy seperti para comic di televisi? Ataukah aku akan mencari topik yang pada akhirnya akan menjadi garing dan membuat suasana "krik-krik"?

Jika kau ada disini, kira-kira apa yang akan kau katakan ya? Apakah kau akan menyemangatiku dan berkata, "Kamu pasti bisa!" Ya, sebuah semangat yang dulu selalu kurasakan kala kau percaya bahwa aku pasti bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Kau pasti menatapku dengan tatapan berbinar bahwa kau akan mendukungku dari belakang dan berdoa yang terbaik untukku. Itulah dirimu.

Jadi, mungkin hanya ada satu hal yang aku pinta dari dirimu malam ini. Entah kau mengetahui atau tidak, tapi tolong doakanlah aku malam ini. Ayah berkata bahwa ini adalah kesempatan baik bagiku. Kesempatan untuk membuktikan diri dan membuat orang-orang percaya padaku. Tapi bagiku ini juga merupakan kesempatan untuk mendekat kepadamu. Dengan menjadi orang yang bisa diandalkan, semoga sedikitnya aku pun bisa menjadi tempat bernaung bagimu suatu hari nanti.

Aku selalu cemas, apakah aku memang sudah siap jika harus memimpinmu suatu hari nanti? Layaknya lokomotif yang menggandeng bagian kereta lainnya dan menuntunnya sampai dengan tempat tujuan, apakah aku bisa menjadi lokomotif bagimu?

Cepat atau lambat, kita akan mengetahuinya. Biarlah sang waktu yang akan menjawab semuanya.

Rabu, 23 September 2015

Merindu

#Day 1

Kau tahu?
Hari ini sudah habis kutelan ratusan buku. Ribuan aksara pun telah kenyang kucerna. Namun lagi-lagi semuanya hanya kembali pada satu hal: Mengingatkanku pada dirimu.

Ya, dirimu yang memabukkanku. Sosok yang telah membuat diriku harus menahan haus rindu yang kini membuncah dalam dada. Rindu yang menohok relung hatiku yang terdalam dan membayangkan ribuan kisah andaikan kita kembali bersama.

Namun semua haruslah sesuai dengan waktunya, bukan?

Kau tahu?

Diri ini masih membisu kala kau sebut bahwa dirimu masih menunggu. Menunggu sosok pangeran berkuda putih yang datang tanpa pamrih hanya demi menjemput sang kekasih. Kau bilang, "Cukuplah ridha orang tua karena itu sudah mewakili segala-galanya."

Maka disinilah aku sekarang. Sedang berusaha memantaskan diri agar dapat menjadi orang yang pantas bersanding denganmu. Kembali berusaha menata hati agar cinta ini terbingkai setiap hari dalam balutan kasih nan ilahi. Jadi, tunggulah aku jika memang rindu ini akan kembali bertamu padamu.

Kau tahu?

"Ketika ekspresi rindu adalah doa, tak ada cinta yang tak mulia." Itulah hal baru yang kudapat dari buku. Buku yang membuat wajahku bersemu malu. Malu karena kisah kita belum tentu seperti itu. Maka inilah yang saat ini berlaku, kucoba menorehkan kisah kita di dalam suatu buku. Harap-harap cemas, semoga suatu hari kau tidak tahu bahwa orang yang kumaksud itu adalah dirimu.

Kau tahu?

Ada yang beku: bibir
Ada yang tertahan: nafas
Ada yang berkedip: kelopak mata
Ada yang berdegup kencang: jantung
Ada yang berdesir deras: darah
Ada yang tertawan: hati
Ada yang berhenti berputar: bumi
Ada yang berhembus pelan: angin
Ada yang hening berbisik: rerumputan

Ada yang jatuh cinta padamu: aku

Sampai bertemu lagi. Ya, Kamu.

Dari Aku yang merindu.