"Mpit, Bapak di mana?" tanyaku pada salah seorang perempuan asal Subang yang baru seminggu ini menjadi teman satu jurusanku.
Sebagai anak rantau, belum banyak orang yang kukenal di sini. Namun, bisa kupastikan bahwa kini aku menjadi minoritas di antara orang-orang yang berasal dari tataran Priangan. Berhubung kampusku ini berada di Utara Kota Kembang, maka selain warga pribumi kebanyakan memang berasal dari sekitar Sumedang, Garut, Purwakarta, Bekasi, Karawang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan sekitarnya. Hanya segelintir yang berasal dari luar pulau, termasuk diriku yang memiliki darah Sumatera.
Gadis berkacamata di hadapanku berpikir sejenak akan pertanyaan barusan. Setelah mengingat-ingat, wajahnya berubah cerah dan berujar, "Oh, iya. Kayaknya beliau lagi di 'air', deh, Gi."
Sebentar. Aku tidak salah dengar, kah?
Bapak sedang di "air"? Apa maksudnya itu?
Benakku langsung membayangkan, apakah maksudnya beliau baru saja berenang dan sekarang sedang membasuh diri sebelum masuk ke kelas?
Astaga. Sepanas apa pun cuaca hari ini, tetapi tetap saja logika itu tidak masuk dalam benakku. Jadi, kuputuskan untuk ke toilet sebentar--sekadar membuang sedikit cairan dan mendinginkan kepalaku yang mulai panas membayangkan dosen Matematika Dasar sedang berenang di kolam sore ini.
Namun, tepat di depan pintu kamar mandi, aku berpapasan dengan seorang pria tinggi dengan rambut cepak dan kacamatanya yang khas. Lelaki itu tampak baru saja mencuci muka untuk menyegarkan wajahnya.
Eh, tunggu dulu.
Kalau aku tidak salah ingat ... bukankah beliau adalah dosenku?!
Otakku langsung berpikir cepat, memproses semua hal yang barusan terjadi. Rasanya hasratku untuk buang air kecil langsung hilang, berganti dengan mencari kepastian atas secuil informasi yang baru saja terpikirkan.
Bergegas kucari Mpit untuk mengonfirmasi sesuatu yang barusan masih sebatas dugaan. Setelah menemukan dirinya sedang membuka tas dan mencari catatan, dengan terengah-engah kupotong aktivitas tersebut dan langsung bertanya, "Mpit, 'air' yang kamu maksud tadi ... itu artinya 'toilet', ya?"
Gadis itu terkejut melihatku yang seakan mau mati penasaran kalau pertanyaan tadi tidak langsung terjawab. Dengan singkat, ia hanya menjawab, "Iya, Gi. Itu bahasa Sunda."
Astaga ... ternyata, se-simple itu.
Belakangan, memang kuketahui beberapa bahasa Sunda itu memang lucu. Banyak yang diambil dari sebutan atau suara yang mereka dengar. Contoh sederhananya adalah stapler.
Benda berbentuk U ini memang memiliki nama-nama tidak resmi, seperti pengokot, cekrekan, dan lain sebagainya. Namun, orang Sunda menyebutnya dengan istilah jegrekan, hanya karena terdenger bunyi "jegrek" ketika benda itu dipakai--sesuai dengan pendengaran mereka, tentunya.
Pengalaman unik yang sama tentang bahasa ini juga kutemukan saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Sebagaimana etika orang yang baru datang, kami pun berkunjung ke rumah kepala desa yang kerap dipanggil Pak Kuwu oleh warga sekitar.
Rumah beliau sangat sederhana. Kami bersepuluh dijamu dengan hangat pada ruang tamu rumahnya tersebut. Setelah menyapa dan berbasa-basi sebentar, beliau tiba-tiba bertanya kepadaku selaku ketua kelompok di sana.
"Cep, ari istri teh aya sabaraha?"
Ebuset, deh, ini Pak Kuwu. Baru kenal, kok, tiba-tiba udah nembak main tanya istri aja. Enggak tahu kali, ya, kalau aku udah ngejomlo bertahun-tahun? Jujur, pertanyaan itu langsung menohok ulu hatiku yang paling dalam. :"(
Baru saja mau menjawab status menyedihkanku itu, tiba-tiba seorang kawanku bernama Raka menyahut dari samping. "Istri teh aya opat, Pak."
Astaga .... Otakku seakan berjumpalitan kembali!
Aku tahu bahwa temanku yang berasal dari Cirebon itu cukup tampan. Akan tetapi, masa iya, sih, dia udah nikah dan punya empat istri? Yang artinya, kuota nikah dia udah full, dong!
Aku membayangkan, bagaimana dia membagi waktu di tengah perkuliahan dengan empat istri ini. Di saat pikiranku tengah mengembara tersebut, tiba-tiba ia melanjutkan perkataannya. "Upami pameugeut teh aya genep, Pak."
Sebentar. Sepertinya ada yang salah di sini.
Aku tahu arti opat adalah "empat", dan genep adalah "enam". Empat dan enam, kalau dijumlahkan menjadi sepuluh. Sesuai dengan jumlah anggota pada kelompok kami.
Sebuah pemikiran kembali mengusik otakku. Apakah yang selama ini kupikirkan salah, ya? Cepat-cepat, kukonfirmasi pada Iqbal, orang Sunda tulen yang paham akan bahasa yang disebutkan oleh Raka barusan.
"Bal ... Iqbal. Mau tanya, dong."
Lelaki itu hanya melirikku jengah, seakan tak suka diganggu di tengah pertemuan semiformal seperti ini. "Apaan, Gi?"
"Istri itu ... bahasa Sunda yang artinya 'cewek', ya?"
Seakan paham maksudku, ia pun menahan tawa dan berusaha untuk tidak tergelak. Kuperhatikan wajahnya yang memerah, menahan napas, seraya kemudian berujar padaku. "Ya iyalah, Gi. Masa 'istri' yang itu?"
Kami pun sama-sama tertawa di dalam hati, sembari menutupi wajah kami yang mungkin sekarang sudah terkontrol lagi.
Konyol. Bahasa Sunda memang unik.
Tapi, itu juga yang membuatku tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam lagi. Sebab, kalau bukan kita yang melestarikannya, mau siapa lagi?
Bandung, 24 Januari 2019
@agi_eka
#KataHatiChallenge #KataHatiProduction #KataHatiChallenge
Catatan Kaki:
1) Cep, ari istri teh aya sabaraha? = Ganteng, kalau perempuannya ada berapa?
2) Istri teh aya opat, Pak. = Perempuannya ada empat, Pak.
3) Upami pamegeut teh aya genep, Pak. = Kalau laki-lakinya ada enam, Pak.
Sumber gambar: ayobandung.com
Oh kang Agi aslinya orang Sumatera ya? Daerah mana kang?
BalasHapusWkwkwk. Iya, ibuku dari Palembang, ayahku dari Cianjur. Cuma, karena besar di Lampung, makanya bener2 baru belajar bahasa Sunda pas udah ada di Bandung :)
HapusHaha ku pikir itu tadi beneran nanyain istrinya. Eh ternyata nanyain orang yang ada di kelompok itu :v
BalasHapusWkwkwk. Saya pun kaget, teh. Shock dan rasanya mau langsung lari ke KUA aja pas digituin. *eh
Hapus