Jumat, 25 Januari 2019

J.A.P.



"Ka ...," panggilku padanya.

Gadis berkerudung ungu di sampingku menoleh. Keningnya mengerut, seakan menyadari suaraku yang barusan tercekat. "Iya, Kak?"

Aku menelan ludah. Lidahku kelu, badanku gemetar. Tubuhku terasa dingin. Aneh sekali. Aku yang terbiasa berdiri dan berbicara di depan publik, tiba-tiba saja tak mampu berbicara di hadapannya. Ada apa ini?

"Eng ..., enggak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya." Akhirnya, hanya kata itu yang terlontar dari mulutku.

Wajahnya terlihat bingung sejenak, tetapi langsung berubah menjadi tersenyum seperti yang biasa ia ukir. Senyum yang mengalihkan duniaku.

"Baiklah, aku duluan ya, Kak!"

Ekor mataku melihat kepergiannya yang perlahan menjauh. Menghilang dari hadapanku, tetapi tidak beranjak dari hatiku.

***

Udara malam berembus, menusuk sukma, menembus pori-porik kulitku yang perlahan terbuka setelah berolahraga. Ini memang kebiasaan burukku yang konon tidak baik menurut teman-teman olahragawan. Setiap ada pikiran yang mengusik otakku, langkah kaki ini pasti tak kuasa untuk berlari dari Gasibu sampai Alun-Alun Kota Bandung--seakan ingin lari menjauh dan meninggalkan realita yang sedang kuhadapi saat ini.

Pandanganku mengedar. Seperti biasa, tempat ini dipenuhi kumpulan orang tua yang mengajak anak-anaknya bercanda tawa. Entah mengapa, hal itu membuatku iri dengan mereka. Anak-anak itu memang seperti hidup tanpa beban, tak pernah memikirkan besok akan makan apa, ke mana harus bekerja, hingga hal-hal muskil seperti ... cinta.

Banyak orang berkutat dengan definisi dari cinta. Sebagian bersikukuh bahwa cinta adalah pengorbanan, penantian, memberi tanpa harus diberi, dan menerima kelebihan serta kekurangan yang dimiliki pada pasangan kita. Cinta adalah kata kerja, katanya, di mana ia akan terus melakukan sampai saatnya melupakan dan terlupakan.

Lantas, pertanyaannya kemudian adalah: kepada siapa kita harus melabuhkan cinta?

Bertahun-tahun pertanyaan ini bersarang dalam benakku. Sejak awal memiliki ketertarikan tentang cinta, aku memegang teguh komitmen untuk menjatuhkan pilihan hanya pada satu wanita saja. Seseorang yang tepat dan kuharap bisa menjadi orang pertama sekaligus terakhir dalam hidupku.

Namun, jatuh memang selalu menyakitkan.

Jatuh cinta pertamaku berujung sakit yang memilukan. Entah karena tingginya harapan harapan, atau pahitnya dikhianatkan. Dalam bilangan bulan, hubungan kami kandas tanpa sempat mendekati pelaminan.

Sejak itu, aku jadi tidak percaya dengan cinta. Berat rasanya mengungkapkan perasaan kepada seseorang bila hanya berujung penolakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hatiku beku, sedingin gunung es di kutub utara. Kututup diriku sebagaimana pemerintahan di Korea Utara.

Sampai suatu hari, ia datang dan masuk ke dalam kehidupanku.

Pertemuan pertama itu hanya berlangsung sebentar, tidak disengaja sama sekali, tetapi begitu berkesan bagi hidupku--dan semoga "kami". Aku percaya, kita akan selalu dipertemukan dengan seseorang yang bisa satu frekuensi dalam hidup ini. Orang yang dapat mengerti diri ini hanya lewat tatap, tanpa perlu sedikit pun bibir berucap.

 Dan itulah yang kutemukan dalam dirinya. Obrolan kami mengalir sederas air terjun niagara, tak terhenti sampai sesi diskusi dalam seminar yang kami ikuti diakhiri. Saat itulah, ketika kami hendak berpisah, kuberanikan diri untuk bertanya dan meminta nomornya.

Bisa jadi, itulah satu-satunya momen yang tak pernah kusesali dalam hidup ini.

Berkat secuil keberanian itu, aku bisa mulai mencari tahu tentang dirinya. Latar belakang pendidikan, pengalaman, sahabat, hingga keluarga besarnya.

Mungkin kita membutuhkan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang, tetapi sesungguhnya kita hanya butuh waktu satu detik untuk jatuh cinta padanya.

Dan ketika rasa itu datang, pertanyaan baru pun menjelang. "Apa yang harus kita lakukan?"

Sebagai perempuan, mungkin yang kau lakukan hanya bisa menunggu. Namun, sebagai lelaki, aku tahu bahwa hanya menanti waktu untukku maju memperjuangkanmu.

Dan ketika saat itu datang, satu permintaan yang pasti kuajukan. "Jadikanlah aku pacar (halal)-mu, bersetia di jalan itu, meniti rumah tangga bersama sehidup sesurga."

Jadi, bagaimana jawabanmu?

Sukabumi, 26 Januari 2019
@agi_eka

#KataHatiMenulis #KataHatiChallenge #KataHatiProduction

Sumber gambar: www.lagu.yt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar