Senin, 21 Januari 2019

Kapan?


"Kapan?"

Adalah salah satu pertanyaan yang tidak pernah berujung.

Di suatu meja makan, pada saat kami tengah bercengkerama, bersua dan melepas rindu bersama saudara, pertanyaan itu muncul kembali.

"Jadi, kapan, Gi?"

Keringat deras kembali mengucur di sekujur tubuhku. Aku tahu pertanyaan ini akan keluar, tetapi tetap saja rasanya kaget dan tak siap tatkala mendengarnya secara langsung.

Kuperhatikan lelaki berkumis yang rambutnya mulai memutih itu. Kutebak, puluhan tahun ia mengarungi kehidupan rumah tangga pasti sangat memengaruhi penilaian dia.

Aku tahu ia sangat tegas dan keras, bahkan ke anak sendiri. Kudengar dari salah seorang anaknya bahwa ia pernah melakukan hal ini dan hal itu atas kesalahan yang tidak bisa ia tolerir.

Kuteguk dulu segelas air yang ada di meja tersebut. Perlahan, cairan itu membasahi tenggorokanku dan membanjiriku dengan kenangan. Tujuh tahun berkuliah dan membuat semua orang menanti tentu bukanlah waktu yang sebentar. Termasuk, oleh si dia.

Bukan tanpa alasan juga aku menunda wisuda. Entah karena penolakanku terhadap tuntutan orang tua, atau mungkin juga alam bawah sadarku yang sedang menikmati masa-masa bebas yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Berawal dari undangan untuk berbagi seputar kepenulisan di Garut pada awal tahun 2018 ini, lalu berkeliling Jawa Barat dalam rangka kunjungan cabang pada organisasi yang aku ikuti saat ini, hingga sekarang bisa duduk di tengah riuh keluarga jauh dari pihak Mama yang berada di Palembang.

Tak pernah kusangka, tahun ini kakiku jauh melangkah ke mana-mana, sekaligus semakin meninggalkan jejak karirku di kampus. Padahal, tinggal merampungkan hasil-hasil penelitian yang telah kulakukan di tahun lalu, kemudian semuanya akan beres.

Tali tiga akan berpindah dari kiri ke kanan, atau malah sebaliknya? Entahlah. Aku bahkan belum sampai memikirkan hal remeh temeh yang katanya menjadi apresiasi empat tahun--atau lebih--kita berkuliah ini. Satu-satunya yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana menjawab pertanyaan tadi?

Kuatur kalimat sebaik mungkin. Bismillah saja lah, apa pun hasilnya toh semua pertanyaan pasti memiliki jawaban. Meskipun itu hanya sekadar berkata "tidak tahu".

"Doakan ya, Ayah," sahutku dengan suara gemetar, "Insya Allah setelah lebaran ini akan Agi lanjutkan kembali."

Selang beberapa detik, kata-katanya kembali menggelegar di seluruh ruangan. "Kenapa bisa? Tahu begini--"

Entah kalimat apa lagi yang keluar dari beliau, aku tak peduli. Aku tahu, inti utamanya adalah menasihatiku. Padahal, sejujurnya aku sudah muak dengan nasihat. Seperti apa yang disampaikan sampai berbusa oleh Papaku.

Di penghujung semester, masa-masa terakhir kita berkuliah ini, semua mahasiswa pasti tahu batas akhir masa hidupnya di kampus ini. Namun, kadang kala justru mereka bingung harus dari mana mereka memulai? Karya seperti apa yang harus mereka buat?

Mahasiswa itu lebih butuh bimbingan ketimbang nasihat. Kita lebih butuh rangkulan ketimbang makian dan cacian. Namun, para orang tua memang hanya bisa berucap tanpa bisa menjadi tauladan. Barang kali itu juga yang membuat beberapa anak lebih betah di luar ketimbang pulang ke tempat yang tidak bisa ia sebut "rumah" lagi.

Puas memberikan petuahnya, lelaki yang kusebut Ayah--kakak ipar dari Mamaku--kemudian menutup dengan ultimatum. "Kalau semester ini kamu belum lulus juga, jangan injakkan kaki lagi di Palembang. Dan jangan pernah tunjukkan wajah kamu lagi di hadapan Ayah!"

Sekakmat. Tidak ada yang paling kutakutkan selain dibenci oleh seseorang. Tanpa dibilang begitu, sebetulnya aku pun ingin segera menyelesaikan perkuliahan yang mulai menjengkelkan ini. Entah mengapa, kampus yang sekarang tidak sama lagi dengan masa-masa dulu. Apakah karena teman-temanku sudah perlahan menghilang di telan dunianya masing-masing? Aku tak tahu.

Yang jelas, lulus tepat waktu, menjadi PNS, dan menikah, adalah yang selalu diharapkan oleh orang tua. Mungkin saja, ketika hati kecilku memberontak, aku memilih untuk telat (banget) menyelesaikan perkuliahan ini, berniat tidak mengambil selembar kertas yang disebut "ijazah" agar tidak bisa mendaftar PNS, tapi tetap saja tidak akan menolak untuk pilihan ketiga.

Semua orang yang waras pasti ingin menikah. Apalagi, ketika sudah ada seseorang yang menanti nun jauh di sana.

Kamu.
Iya, kamu.

Masih sanggupkah bertahan sebentar lagi?
Sembari menutup telinga atas pertanyaan "Kapan" lainnya yang juga tengah menghujanimu dari waktu ke waktu?

Percayalah, orang lebih membutuhkan pembuktian daripada janji dan perkataan. Oleh karenanya, itulah yang juga saat ini sedang kuperjuangkan.

Bandung, 22 Januari 2019
@agi_eka


#KataHatiChallenge #KataHatiProduction #KataHatiMenulis

1 komentar:

  1. Dimana-mana orang tua tampaknya sama ya Kak, menuntut, apalagi soal PNS yang dianggap sebagai bukti kesuksesan seseorang. Kalau sudah begitu, memang rumah sudah tak menarik lagi ntuk menjadi tempat pulang. Tapi apa pun itu tetap dilalui sebab tak ada pilihan lain selain terus menjalani dan mengalahkan ego hingga rasa penerimaan itu muncul sendiri. Keep Strong Kak.

    BalasHapus