Kamis, 01 Mei 2014

Tekad Hati Seorang Pejuang



Tekad Hati Seorang Pejuang
Karya : M. Ginanjar Eka Arli

            “Axogy aa’..” Kata suara lelaki tersebut sambil mengetok pintu.
            Tak berapa lama kemudian, keluarlah sepasang suami istri dari dalam rumah bercat biru tersebut. Mereka berdua tersenyum menatap lelaki yang mengantarkan air galon ke rumahnya hari ini. Seraya mengeluarkan uang beberapa lembar sang suami berucap,”Terima kasih ya aa’. Ini kembaliannya untuk aa’ aja.”
            Alhamdulilah. Hatur nuhun aa’..” Balas pemuda pengantar air tersebut.
            Sami-sami aa’..” Ujar mereka sambil kembali tersenyum.
            Mangga aa’. Assalamualaikum....”
            “Wa’alaikumussalam warrohmatullahi wabaraktuh....”
***
            Senja mulai menyambut jalanan berkabut. Menemani perjalanan pulang pemuda pengantar air tersebut. Ya, pemuda yang berperawakan sedang, berambut ikal, dan mengenakan jaket biru dongker itu sudah dua tahun bekerja di perusahaan pengantar air galon bermerk Axogy untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selepas pulang kuliah, ia langsung berganti baju, mengenakan jaket kesayangannya, dan stand by mengantar air hingga larut malam. Begitulah kegiatannya sehari-hari selama dua tahun tersebut.
            Pemuda tersebut bernama Andre. Mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika suatu universitas terkemuka di Bandung. Ia memiliki dua orang adik yang masih bersekolah. Ibunya bertugas mengurusi rumah, sedangkan Ayahnya sudah lama bekerja sebagai kuli pasar. Karena itulah Andre sudah harus belajar mandiri sejak kecil. Lingkungan membuatnya dewasa sebelum waktunya. Ia menjadi orang yang tegar, bertanggung jawab, dan amanah.
            Berkat beasiswa, Andre berhasil duduk di tingkat perguruan tinggi. Ayahnya sangat senang karena anaknya dapat melanjutkan cita-citanya yang dulu kandas karena masalah biaya. Segala sesuatu dipersiapkan, tidak lupa doa dari orang tua menyertainya untuk kuliah di tempat yang jauh. Ya, untuk berkuliah Andre harus rela meninggalkan Ayah dan Ibunya ke pulau seberang. Semuanya adalah pengorbanan yang sepadan untuk harga beasiswa yang didapatkannya. Maka berangkatlah Andre ketika itu, menimba ilmu ke pulau seberang.
            Bermodalkan bekal seadanya, tentu membuat Andre harus memutar otak. Hal pertama yang ia cari adalah tempat tinggal. Maka dengan modal kalimatul basmallah, Andre menawarkan diri menjadi marbot di suatu masjid dekat kampusnya. Alhamdulilah ia pun diterima untuk tinggal dan mengurusi masjid tersebut. Masjid yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Masjid tersebut dinamakan At-Taufiq.
            Kehidupan kampus pun dimulai. Andre mulai menyesuaikan diri dengan adat istiadat daerah setempat. Kultur religius yang dibangun di kampus tersebut telah menyebar sampai daerah sekitar kampus. Di dukung dengan program dakwah salah satu ustadz terkenal di negerinya, maka sempurnalah lingkungan tersebut untuk menjadi sarana menimba ilmu keislaman yang kaffah. Dua tahun berlalu, dan Andre menjadi orang yang cukup shaleh. Puasa sunnah Senin-Kamis selalu dijalankannya. Shalat tahajjud pun tak pernah ia tinggalkan.
            Tak terasa kehidupan di kampus berjalan cepat. Usianya kini sudah berkepala dua. Berkat dorongan murobbi-nya, ia banyak menerima tawaran untuk berta’aruf. Ya, untuk apalagi kalau bukan untuk menggenapi setengah dari agamanya? Yaitu.. Menikah.
            “Kamu udah siap untuk menikah kan Dre?” Tanya ustadz Roni, murobbi Andre di masjid At-Taufiq, memecah keheningan malam itu.
            “Hah? Saya ustadz?” Balik tanya Andre kepada ustadz Roni.
            “Iya Dre. Ana lihat antum udah cukup mampu. Kenapa gak dicoba aja ngajuin proposal? Nanti ana bantu cariin calonnya.” Tawar ustadz Roni.
“Hmm, gimana ya ustadz.. Ana teh....”
“Udah punya calonnya yaa??” Potong ustadz Roni.
“Eh.. Bukan gitu sih, tapi....” Jawab Andre bingung.
“Ya udah, besok kita pergi ke rumahnya ya untuk ta’aruf.” Sahut ustadz Roni riang.
“Ehh.. Ta, tapi ustadz....”
“Udah gak papa. Innallaha ma ana. Insya Allah, Allah bersama kita Dre.” Tutup ustadz Roni.
***
            Maka kesanalah mereka pada keesokan harinya. Ke rumah yang berada di sudut jalan gang Cempaka. Rumah berpagar biru dan berjendela ungu. Berhiaskan taman bunga didepannya dan juga kolam disampingnya. Rumah itu tenang, damai, dan tentram. Hanya satu yang mengganggu, sosok Pria yang sudah tak asing lagi di mata Andre. Ialah Andi, sahabatnya yang berasal dari Jurusan Pendidikan Biologi. Ia datang ke rumah yang juga hendak ditujunya. “Ada apa gerangan Andi datang ke sini?” Batin Andre dalam hati.
            Maka tak berapa lama tersiarlah kabar bahwa kedatangan Andi kemarin tak lain dan tak bukan adalah sama seperti Andre, hendak melamar Alya, sosok bidadari dunia yang menggugah hatinya selama ini. Andre merasa diuji. Apalah bandingannya ia dengan Andi. Orang yang selalu memenangkan calon olimpiade Biologi. Pengusaha keripik yang sangat terkenal di kota Bandung ini. Usahanya sudah melalang buana ke seluruh penjuru negeri. Bahkan salah satu sahabat terbaik yang suka mengajaknya sholat berjamaah di masjid.
            Andre menghela napas sesaat. Ia mempertimbangkan antara persahabatan dan cintanya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengutamakan Andi atas dirinya dan ia pun mengutamakan Alya atas cintanya. Ya, itulah cinta baginya. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan. Maka Andre pun mengikhlaskan Alya untuk Andi, sahabatnya.
            Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Andi di tolak! Berita ini cukup mengejutkan bagi Andre. Apakah sosok seperti Andi belum cukup untuk menjadi teman seperjuangan bagi Alya? Batin Andre. Maka ia pun menjaga semangatnya untuk mempersiapkan dirinya kembali.
***
            Pagi berganti siang. Siang menghilang digantikan malam. Perputaran itu selalu terjadi. Seakan hendak menegaskan bahwa ujian itu pun belum berakhir. Kali itu Andre telat selangkah. Lagi-lagi seorang pria datang terlebih dahulu ke rumah Alya. Orang itu bertubuh tegap, tinggi, dengan badan yang besar. Namanya adalah Ali. Mahasiswa jurusan keolahragaan, seorang atlet yang telah meraih banyak medali di cabang olimpiade renang 100m gaya bebas. Tidak hanya itu, ia pun seorang aktivis dakwah di kampusnya. Wakil presiden republik mahasiswa yang terkenal dengan se-abreg prestasi dan amalan yaumiyahnya. Apalah yang kurang dari orang seperti itu? Tampan, pintar, dan shaleh. Sosok menantu impian dambaan setiap orang tua.
            Maka sekali lagi keimanan Andre diuji. Andre sekali lagi sadar, dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, mungkin dia masihlah tunas muda, pemuda yang dianggap masih belum siap menikah. Apalagi menikahi Alya, putri seorang ustadz terkemuka di daerah tersebut? Tidak! Sepertinya Ali memang lebih pantas darinya. Maka sekali lagi dikatakanlah kepada murabbinya, ”Mencintai tidak selalu harus memiliki ustadz. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan dan mempersilahkan. Maka saya ridho apabila Ali memang lebih pantas untuk bersanding Alya.”  
            Murobbi yang berjenggot rapih itu tersenyum memandangnya seraya berkata, “Semoga Allah memberikan pasangan yang pantas untukmu ya akhi.”
            Aamiin....” Jawab Andre tersenyum membalas doa murobbinya tersebut.
***
            Detik berganti menit. Menit merangkai jam. Jam meniti hari. Dan hari kini telah menjadi minggu. Sekali lagi kabar itu meruyak. Lamaran Ali ditolak! Andre bingung bukan kepalang. “Sosok seperti apakah yang dicari Alya sebenarnya?” Batinnya dalam hati. Bukan sosok seperti Andi yang akademisi. Bukan pula sosok seperti Ali yang aktivis. Lalu..?
            “Mungkin kamulah yang ditunggunya Dre.” Sahut murobbinya membuyarkan lamunannya. “Entah mengapa ana punya firasat antum-lah yang pantas bersanding dengan Alya.”
            Ana, ustadz??” Tanya Andre keheranan.
            “Ya antum, akhi. Dengan ketulusan dari antum, itu bisa menjadi modal utama untuk melamarnya.”
            Andre berpikir sejenak. Maka dengan mengucapkan bismillah, ia pun berdiri dari tempat duduknya. “Ustadz mau menemani saya sekali lagi? Insya Allah kali ini kita akan bertemu dengan Alya.”
            Murobbinya tersenyum seraya bangkit dan mengikutinya keluar dari masjid tempatnya berkumpul barusan.
***
            Keberanian tidaklah sama dengan nekad. Berani adalah karena memiliki kesiapan, sedangkan nekad adalah karena belum ada persiapan. Maka kata itulah yang dipilih oleh Andre. Berani. Dengan keberanian dan tekad yang bulat, ia memasuki pintu rumah tersebut. Diketuknya pelan, Tok, Tok, Tok. Dan keluarlah seorang Bapak dengan kumis yang lebat. Wajahnya seperti Pak Raden, siap memarahi siapapun yang ada di hadapannya.
            “Ada perlu apa, wahai anak muda?” Tanyanya garang.
            “Saya ingin melamar anak Bapak, Alya.” Jawab Andre mantap.
            Bapak berkumis tersebut diam sejenak. Menyelidik Andre dari atas ke bawah. Wajahnya sedikit mengerut hingga akhirnya ia berkata, “Masuk dulu ke dalam anak muda. Kita bicarakan sambil duduk.”
            Andre mengangguk, ia pun masuk ke dalam ditemani dengan murobbinya tersebut. Di ruangan ukuran 5x5 meter tersebut, terdapat empat kursi keluarga. Di tengahnya terletak sebuah meja kaca, lengkap dengan makanan khas lebaran di atasnya. Setelah dipersilahkan, keduanya duduk berhadapan dengan Bapak berkumis itu.
            “Baiklah, tolong sampaikan kembali maksud kedatanganmu tadi anak muda.” Kata Bapak berkumis tersebut.
            Bismillahirrahmanirrahim. Sebelumnya perkenalkan nama saya Andreansyah, pemuda asli tanah Sunda yang besar di Lampung. Saat ini saya tengah menempuh studi di jenjang S-1 jurusan Pendidikan Matematika di salah satu Universitas yang terkemuka di Bandung. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk melamar anak Bapak, Alya Rohali. Karena itu, semoga Bapak berkenan untuk menyambut kedatangan kami disini.”
            Bapak itu mendengus perlahan seraya berkata, “Apa yang bisa engkau berikan wahai anak muda? Engkau masih berkuliah, tapi engkau berani melamar anak saya. Betapa nekad dirimu??” Tanyanya kasar.
            “Bapak jangan khawatir. Saya termasuk orang yang bertanggung jawab, insya Allah. Walaupun saya masih berkuliah, tapi saya pun sudah mulai bekerja. Penghasilannya memang belum seberapa, tapi saya yakin mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari anak Bapak.”
            “Memang kerja apa engkau sekarang, anak muda?” Potong sang Bapak.
            “Saat ini saya sedang bekerja di salah satu agen air axogy. Pendapatan disana sebagai outlet dan pengantar cukup lumayan. Saya pun sedang membuat satu buah buku serta bahan ajar. Insya Allah, saya termasuk orang yang berkomitmen tinggi. Dengan rizki Allah, semuanya tidak ada yang tidak mungkin.” Jawab Andre.
            “Prestasi apa yang engkau pernah raih anak muda?” Tanya Bapak itu kembali.
            “Saya pernah menjuarai lomba adzan di TK, SD, dan SMP. Saya juga pernah mengikuti lomba karya tulis ilmiah remaja dan alhamdulilah meraih juara 1. Saya pun pernah meraih beberapa juara dalam lomba kepenulisan tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, hingga kota. Hanya itu mungkin prestasi saya.”
            “Bagaimana dengan amalan ibadahmu?”
            Andre diam sejenak. Lalu menjawab, “Insya Allah, saya rutin menjalani puasa Senin-Kamis, Shalat Qiyamul Lail, dan Shalat Sunnah Qabliyah maupun Ba’diyah. Di luar itu, amalan wajib saya insya Allah sudah terpenuhi semuanya”
            Sang Bapak menimbang sebentar sembari berpikir. Ruangan itu lengang. Hanya suara air dari aquarium ikan yang terdengar. Blup, Blup, Blup. Seakan ikan-ikan disana tidak sabar meminta jatah makan siang mereka.
            “Bagaimana apabila lamaranmu tidak diterima?” Tanya Sang Bapak tiba-tiba.
            Andre diam. Mengambil napas sedikit lalu berkata, “Sesungguhnya jodoh itu berada di tangan Yang Maha Kuasa. Saya sedang mencoba menjemput pasangan hidup saya yang telah dituliskan-Nya dalam takdir saya. Manusia hanya bisa berikhtiar, sementara Allah lah yang berkehendak membolak balikkan hati. Allah yang memberikan saya keberanian untuk melamar Alya. Allah lah yang kuasa memberikan saya kesempatan untuk berucap begini dan begitu. Bapak pun sama. Apabila Alya memang bukan jodoh saya, maka saya doakan semoga ada orang lain yang memang telah disiapkan-Nya. Orang yang lebih baik daripada saya. Insya Allah.”
            Sang Bapak mengangguk. Sejenak kemudian berkata, “Anak muda. Orang sepertimulah yang kami tunggu-tunggu dari dulu. Ahlan wa Sahlan. Selamat datang dengan keluarga barumu.”
            Bapak berkumis itu bangkit berdiri dan langsung memeluk Andre. Pemuda itu kaget akan kenyataan yang diterimanya. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Bingung, senang, haru. Semuanya melebur menjadi salah satu. Ya Allah, inikah yang dinamakan bahagia...?

***

            Cinta memang membutuhkan keberanian. Keberanian untuk mengorbankan cinta. Keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
            Inilah jalan cinta yang sejati. Jalan cinta yang mempertemukan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.
            Di jalan cinta yang hakiki, kita belajar untuk bertanggung jawab atas setiap perasaan kita.

***

Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.

***

(Alhamdulilah, Cerpen ini mendapatkan anugerah juara ke 2 dalam SPAI Award 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar