Tekad
Hati Seorang Pejuang
Karya : M. Ginanjar Eka Arli
Karya : M. Ginanjar Eka Arli
“Axogy
aa’..” Kata suara lelaki tersebut sambil mengetok pintu.
Tak
berapa lama kemudian, keluarlah sepasang suami istri dari dalam rumah bercat
biru tersebut. Mereka berdua tersenyum menatap lelaki yang mengantarkan air
galon ke rumahnya hari ini. Seraya mengeluarkan uang beberapa lembar sang suami
berucap,”Terima kasih ya aa’. Ini kembaliannya untuk aa’ aja.”
“Alhamdulilah. Hatur nuhun aa’..” Balas
pemuda pengantar air tersebut.
“Sami-sami aa’..” Ujar mereka sambil
kembali tersenyum.
“Mangga aa’. Assalamualaikum....”
“Wa’alaikumussalam warrohmatullahi
wabaraktuh....”
***
Senja
mulai menyambut jalanan berkabut. Menemani perjalanan pulang pemuda pengantar
air tersebut. Ya, pemuda yang berperawakan sedang, berambut ikal, dan
mengenakan jaket biru dongker itu sudah dua tahun bekerja di perusahaan
pengantar air galon bermerk Axogy untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Selepas pulang kuliah, ia langsung berganti baju, mengenakan jaket kesayangannya,
dan stand by mengantar air hingga
larut malam. Begitulah kegiatannya sehari-hari selama dua tahun tersebut.
Pemuda
tersebut bernama Andre. Mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika suatu
universitas terkemuka di Bandung. Ia memiliki dua orang adik yang masih bersekolah.
Ibunya bertugas mengurusi rumah, sedangkan Ayahnya sudah lama bekerja sebagai
kuli pasar. Karena itulah Andre sudah harus belajar mandiri sejak kecil.
Lingkungan membuatnya dewasa sebelum waktunya. Ia menjadi orang yang tegar, bertanggung
jawab, dan amanah.
Berkat
beasiswa, Andre berhasil duduk di tingkat perguruan tinggi. Ayahnya sangat
senang karena anaknya dapat melanjutkan cita-citanya yang dulu kandas karena
masalah biaya. Segala sesuatu dipersiapkan, tidak lupa doa dari orang tua
menyertainya untuk kuliah di tempat yang jauh. Ya, untuk berkuliah Andre harus
rela meninggalkan Ayah dan Ibunya ke pulau seberang. Semuanya adalah
pengorbanan yang sepadan untuk harga beasiswa yang didapatkannya. Maka
berangkatlah Andre ketika itu, menimba ilmu ke pulau seberang.
Bermodalkan
bekal seadanya, tentu membuat Andre harus memutar otak. Hal pertama yang ia
cari adalah tempat tinggal. Maka dengan modal kalimatul basmallah, Andre
menawarkan diri menjadi marbot di
suatu masjid dekat kampusnya. Alhamdulilah
ia pun diterima untuk tinggal dan mengurusi masjid tersebut. Masjid yang
tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Masjid tersebut dinamakan
At-Taufiq.
Kehidupan
kampus pun dimulai. Andre mulai menyesuaikan diri dengan adat istiadat daerah
setempat. Kultur religius yang dibangun di kampus tersebut telah menyebar
sampai daerah sekitar kampus. Di dukung dengan program dakwah salah satu ustadz
terkenal di negerinya, maka sempurnalah lingkungan tersebut untuk menjadi
sarana menimba ilmu keislaman yang kaffah. Dua tahun berlalu, dan Andre menjadi
orang yang cukup shaleh. Puasa sunnah Senin-Kamis selalu dijalankannya. Shalat
tahajjud pun tak pernah ia tinggalkan.
Tak
terasa kehidupan di kampus berjalan cepat. Usianya kini sudah berkepala dua.
Berkat dorongan murobbi-nya, ia banyak menerima tawaran untuk berta’aruf. Ya,
untuk apalagi kalau bukan untuk menggenapi setengah dari agamanya? Yaitu..
Menikah.
“Kamu
udah siap untuk menikah kan Dre?” Tanya ustadz Roni, murobbi Andre di masjid At-Taufiq,
memecah keheningan malam itu.
“Hah?
Saya ustadz?” Balik tanya Andre kepada ustadz Roni.
“Iya
Dre. Ana lihat antum udah cukup mampu. Kenapa gak dicoba aja ngajuin proposal?
Nanti ana bantu cariin calonnya.”
Tawar ustadz Roni.
“Hmm, gimana ya ustadz.. Ana teh....”
“Udah punya calonnya yaa??” Potong
ustadz Roni.
“Eh.. Bukan gitu sih, tapi....” Jawab
Andre bingung.
“Ya udah, besok kita pergi ke rumahnya
ya untuk ta’aruf.” Sahut ustadz Roni riang.
“Ehh.. Ta, tapi ustadz....”
“Udah gak papa. Innallaha ma ana. Insya Allah, Allah bersama kita Dre.” Tutup
ustadz Roni.
***
Maka
kesanalah mereka pada keesokan harinya. Ke rumah yang berada di sudut jalan
gang Cempaka. Rumah berpagar biru dan berjendela ungu. Berhiaskan taman bunga
didepannya dan juga kolam disampingnya. Rumah itu tenang, damai, dan tentram.
Hanya satu yang mengganggu, sosok Pria yang sudah tak asing lagi di mata Andre.
Ialah Andi, sahabatnya yang berasal dari Jurusan Pendidikan Biologi. Ia datang
ke rumah yang juga hendak ditujunya. “Ada
apa gerangan Andi datang ke sini?” Batin Andre dalam hati.
Maka
tak berapa lama tersiarlah kabar bahwa kedatangan Andi kemarin tak lain dan tak
bukan adalah sama seperti Andre, hendak melamar Alya, sosok bidadari dunia yang
menggugah hatinya selama ini. Andre merasa diuji. Apalah bandingannya ia dengan
Andi. Orang yang selalu memenangkan calon olimpiade Biologi. Pengusaha keripik
yang sangat terkenal di kota Bandung ini. Usahanya sudah melalang buana ke
seluruh penjuru negeri. Bahkan salah satu sahabat terbaik yang suka mengajaknya
sholat berjamaah di masjid.
Andre
menghela napas sesaat. Ia mempertimbangkan antara persahabatan dan cintanya.
Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengutamakan Andi atas dirinya dan ia pun
mengutamakan Alya atas cintanya. Ya, itulah cinta baginya. Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah
keberanian atau pengorbanan. Maka Andre pun mengikhlaskan Alya untuk Andi,
sahabatnya.
Beberapa
waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang
sempat layu. Lamaran Andi di tolak! Berita ini cukup mengejutkan bagi Andre. Apakah sosok seperti Andi belum cukup untuk
menjadi teman seperjuangan bagi Alya? Batin Andre. Maka ia pun menjaga
semangatnya untuk mempersiapkan dirinya kembali.
***
Pagi
berganti siang. Siang menghilang digantikan malam. Perputaran itu selalu
terjadi. Seakan hendak menegaskan bahwa ujian itu pun belum berakhir. Kali itu
Andre telat selangkah. Lagi-lagi seorang pria datang terlebih dahulu ke rumah
Alya. Orang itu bertubuh tegap, tinggi, dengan badan yang besar. Namanya adalah
Ali. Mahasiswa jurusan keolahragaan, seorang atlet yang telah meraih banyak
medali di cabang olimpiade renang 100m gaya bebas. Tidak hanya itu, ia pun
seorang aktivis dakwah di kampusnya. Wakil presiden republik mahasiswa yang
terkenal dengan se-abreg prestasi dan
amalan yaumiyahnya. Apalah yang kurang dari orang seperti itu? Tampan, pintar,
dan shaleh. Sosok menantu impian dambaan setiap orang tua.
Maka
sekali lagi keimanan Andre diuji. Andre sekali lagi sadar, dinilai dari semua
segi dalam pandangan orang banyak, mungkin dia masihlah tunas muda, pemuda yang
dianggap masih belum siap menikah. Apalagi menikahi Alya, putri seorang ustadz
terkemuka di daerah tersebut? Tidak! Sepertinya Ali memang lebih pantas
darinya. Maka sekali lagi dikatakanlah kepada murabbinya, ”Mencintai tidak
selalu harus memiliki ustadz. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan
orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan
dan mempersilahkan. Maka saya ridho apabila Ali memang lebih pantas untuk
bersanding Alya.”
Murobbi
yang berjenggot rapih itu tersenyum memandangnya seraya berkata, “Semoga Allah
memberikan pasangan yang pantas untukmu ya akhi.”
“Aamiin....” Jawab Andre tersenyum
membalas doa murobbinya tersebut.
***
Detik
berganti menit. Menit merangkai jam. Jam meniti hari. Dan hari kini telah
menjadi minggu. Sekali lagi kabar itu meruyak. Lamaran Ali ditolak! Andre
bingung bukan kepalang. “Sosok seperti apakah
yang dicari Alya sebenarnya?” Batinnya dalam hati. Bukan sosok seperti Andi
yang akademisi. Bukan pula sosok seperti Ali yang aktivis. Lalu..?
“Mungkin
kamulah yang ditunggunya Dre.” Sahut murobbinya membuyarkan lamunannya. “Entah
mengapa ana punya firasat antum-lah yang pantas bersanding dengan
Alya.”
“Ana, ustadz??” Tanya Andre keheranan.
“Ya
antum, akhi. Dengan ketulusan dari antum,
itu bisa menjadi modal utama untuk melamarnya.”
Andre
berpikir sejenak. Maka dengan mengucapkan bismillah,
ia pun berdiri dari tempat duduknya. “Ustadz mau menemani saya sekali lagi? Insya Allah kali ini kita akan bertemu
dengan Alya.”
Murobbinya
tersenyum seraya bangkit dan mengikutinya keluar dari masjid tempatnya
berkumpul barusan.
***
Keberanian
tidaklah sama dengan nekad. Berani adalah karena memiliki kesiapan, sedangkan
nekad adalah karena belum ada persiapan. Maka kata itulah yang dipilih oleh
Andre. Berani. Dengan keberanian dan tekad yang bulat, ia memasuki pintu rumah
tersebut. Diketuknya pelan, Tok, Tok, Tok. Dan keluarlah seorang Bapak dengan
kumis yang lebat. Wajahnya seperti Pak Raden, siap memarahi siapapun yang ada
di hadapannya.
“Ada
perlu apa, wahai anak muda?” Tanyanya garang.
“Saya
ingin melamar anak Bapak, Alya.” Jawab Andre mantap.
Bapak
berkumis tersebut diam sejenak. Menyelidik Andre dari atas ke bawah. Wajahnya
sedikit mengerut hingga akhirnya ia berkata, “Masuk dulu ke dalam anak muda.
Kita bicarakan sambil duduk.”
Andre
mengangguk, ia pun masuk ke dalam ditemani dengan murobbinya tersebut. Di
ruangan ukuran 5x5 meter tersebut, terdapat empat kursi keluarga. Di tengahnya
terletak sebuah meja kaca, lengkap dengan makanan khas lebaran di atasnya.
Setelah dipersilahkan, keduanya duduk berhadapan dengan Bapak berkumis itu.
“Baiklah,
tolong sampaikan kembali maksud kedatanganmu tadi anak muda.” Kata Bapak
berkumis tersebut.
“Bismillahirrahmanirrahim. Sebelumnya
perkenalkan nama saya Andreansyah, pemuda asli tanah Sunda yang besar di
Lampung. Saat ini saya tengah menempuh studi di jenjang S-1 jurusan Pendidikan
Matematika di salah satu Universitas yang terkemuka di Bandung. Maksud
kedatangan kami kali ini adalah untuk melamar anak Bapak, Alya Rohali. Karena
itu, semoga Bapak berkenan untuk menyambut kedatangan kami disini.”
Bapak
itu mendengus perlahan seraya berkata, “Apa yang bisa engkau berikan wahai anak
muda? Engkau masih berkuliah, tapi engkau berani melamar anak saya. Betapa
nekad dirimu??” Tanyanya kasar.
“Bapak
jangan khawatir. Saya termasuk orang yang bertanggung jawab, insya Allah. Walaupun
saya masih berkuliah, tapi saya pun sudah mulai bekerja. Penghasilannya memang
belum seberapa, tapi saya yakin mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
anak Bapak.”
“Memang
kerja apa engkau sekarang, anak muda?” Potong sang Bapak.
“Saat
ini saya sedang bekerja di salah satu agen air axogy. Pendapatan disana sebagai
outlet dan pengantar cukup lumayan. Saya pun sedang membuat satu buah buku
serta bahan ajar. Insya Allah, saya
termasuk orang yang berkomitmen tinggi. Dengan rizki Allah, semuanya tidak ada
yang tidak mungkin.” Jawab Andre.
“Prestasi
apa yang engkau pernah raih anak muda?” Tanya Bapak itu kembali.
“Saya
pernah menjuarai lomba adzan di TK, SD, dan SMP. Saya juga pernah mengikuti
lomba karya tulis ilmiah remaja dan alhamdulilah meraih juara 1. Saya pun
pernah meraih beberapa juara dalam lomba kepenulisan tingkat sekolah,
kecamatan, kabupaten, hingga kota. Hanya itu mungkin prestasi saya.”
“Bagaimana
dengan amalan ibadahmu?”
Andre
diam sejenak. Lalu menjawab, “Insya Allah,
saya rutin menjalani puasa Senin-Kamis, Shalat Qiyamul Lail, dan Shalat Sunnah Qabliyah
maupun Ba’diyah. Di luar itu, amalan
wajib saya insya Allah sudah
terpenuhi semuanya”
Sang
Bapak menimbang sebentar sembari berpikir. Ruangan itu lengang. Hanya suara air
dari aquarium ikan yang terdengar. Blup, Blup, Blup. Seakan ikan-ikan disana
tidak sabar meminta jatah makan siang mereka.
“Bagaimana
apabila lamaranmu tidak diterima?” Tanya Sang Bapak tiba-tiba.
Andre
diam. Mengambil napas sedikit lalu berkata, “Sesungguhnya jodoh itu berada di
tangan Yang Maha Kuasa. Saya sedang mencoba menjemput pasangan hidup saya yang
telah dituliskan-Nya dalam takdir saya. Manusia hanya bisa berikhtiar,
sementara Allah lah yang berkehendak membolak balikkan hati. Allah yang
memberikan saya keberanian untuk melamar Alya. Allah lah yang kuasa memberikan
saya kesempatan untuk berucap begini dan begitu. Bapak pun sama. Apabila Alya
memang bukan jodoh saya, maka saya doakan semoga ada orang lain yang memang
telah disiapkan-Nya. Orang yang lebih baik daripada saya. Insya Allah.”
Sang
Bapak mengangguk. Sejenak kemudian berkata, “Anak muda. Orang sepertimulah yang
kami tunggu-tunggu dari dulu. Ahlan wa
Sahlan. Selamat datang dengan keluarga barumu.”
Bapak
berkumis itu bangkit berdiri dan langsung memeluk Andre. Pemuda itu kaget akan
kenyataan yang diterimanya. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya.
Bingung, senang, haru. Semuanya melebur menjadi salah satu. Ya Allah, inikah
yang dinamakan bahagia...?
***
Cinta
memang membutuhkan keberanian. Keberanian untuk mengorbankan cinta. Keberanian
untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Inilah
jalan cinta yang sejati. Jalan cinta yang mempertemukan semua perasaan dengan
tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang
kedua adalah keberanian. Dan bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam
mencecap keduanya.
Di
jalan cinta yang hakiki, kita belajar untuk bertanggung jawab atas setiap
perasaan kita.
***
Kalau
cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka
cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya,
pengejawantahan
ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya
memberi yang bisa kita berikan,
selamanya
membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
***
(Alhamdulilah, Cerpen ini mendapatkan anugerah juara ke 2 dalam SPAI Award 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar