Jumat, 07 Agustus 2015

Resensi Buku "Api Tauhid"


RESENSI BUKU “API TAUHID”

Judul Buku      : Api Tauhid

Pengarang       : Habiburrahman El Shirazy

Tebal Buku      : xxxvi + 588 halaman

Harga Buku     : Rp. 79.000,-

Penerbit           : Penerbit Republika

Tahun Terbit    : November, 2014

            Ir. Soekarno, Presiden pertama bangsa Indonesia, pernah berpesan, “Janganlah Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Kita hidup berdasarkan sejarah. Kita hari ini adalah hasil dari apa yang kita lakukan kemarin. Begitu pentingnya sejarah bagi kehidupan manusia namun hanya sedikit yang benar-benar ingin mempelajarinya. Enek, tekstual, dan menjemukan, itulah beberapa hal yang sering dikeluhkan oleh para pembelajar sejarah. Tapi, hal ini akan berbeda ketika kita membaca buku yang berjudul “Api Tauhid” karya Habiburrahman El Shirazy.

            Api Tauhid merupakan karya pertama kang Abik yang menitikberatkan pada sejarah. Setelah sebelumnya sukses dengan novel-novelnya yang bertajuk “Cinta”, pria lulusan Universitas Al-Azhar University Cairo yang dinobatkan sebagai Novelis No. 1 Indonesia, kali ini mencoba menuangkan kisah seorang ulama besar Turki yang multitalenta dan berkarakter dalam sebuah novel sejarah. Ulama tersebut kini kita kenal sebagai sang keajaiban zaman yakni Syaikh Badiuzzaman Said Nursi.

            Said Nursi merupakan salah satu tokoh berpengaruh di Turki yang hidup pada tahun 1878 hingga Maret 1960. Beliau dikenal sebagai ulama Islam terkemuka yang menulis buku Risalah Nur, sebuah karya tafsir Al-Qur’an dengan tebal lebih dari enam ribu halaman. Ia diberi gelar Badiuzzaman, yang berarti keajaiban zaman, atas dasar kejeniusannya menghapal dan memahami puluhan kitab referensi penting yang mengalahkan ilmu ulama-ulama senior lainnya di usianya yang belia. Adapun salah satu kegelisahan yang menjadi sorotan beliau di zaman itu yakni tentang adanya sekulerisasi pendidikan yang diusung oleh negara-negara Eropa. Hingga akhirnya beliau menawarkan konsep pembentukan Medresetuz Zahra yang menggabungkan tiga hal yakni ilmu-ilmu modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para sufi yang membina penyucian jiwa dan kehalusan adab. Sayang, atas dasar ide-idenya itu beliau menjadi sering berhadapan dengan para penguasa dan mulai dikucilkan bahkan dipenjarakan. Namun, perjuangan beliau justru baru dimulai saat itu. Dari penjara ke penjara, beliau menuliskan ayat-ayat cahaya yang menerangi bumi Andalusia itu. Ketika adzan dibungkam, beliau tetap menyuarakan kalimat Tauhid dari bilik sepinya. Saat kegelapan datang, dialah yang membawa cahaya untuk memusnahkannya. Dan ketika orang-orang mulai pesimis, ialah yang membawa api harapan untuk membakar semangat-semangat para pejuang di tanah airnya. Beliaulah Said Nursi sang Badiuzzaman.

Berbeda dengan buku-buku sejarah lainnya, kang Abik mengemas cerita Said Nursi secara apik dengan menghadirkan tokoh-tokoh fiksi yakni Fahmi, Nuzula, Aysel, dan Emel. Kisah hidup Fahmi yang dibungkus dengan konflik percintaan khas kang Abik berlatar di Jawa Timur (Indonesia), Madinah (Arab Saudi), dan juga Istanbul (Turki), semua itu menambah kekayaan pengetahuan dan latar tempat yang istimewa dalam novel ini. Dan di sela-sela cerita itulah, pembaca akan dibawa secara mendalam menyusuri kisah hidup Said Nursi dengan bercerita, bukan seperti penjelasan tekstual dalam buku-buku sejarah lainnya. Hal itu jugalah yang membuat novel sejarah ini sangat istimewa, tidak menjemukan, dan membuat pembaca ingin segera melahap habis ceritanya dalam semalam.

            Inilah novel sejarah pembangun jiwa yang membawa cahaya keagungan cinta sang mujaddid. Inilah sebuah karya yang membawa nilai-nilai heroisme cinta ilahi. Novel biografi seorang ulama, sang Badiuzzaman, yang telah menorehkan sejarah dalam perjuangan membawa cahaya di masa terakhir kekhalifahan Turki Utsmani. Seorang pembelajar sejati yang diberikan karunia menghapal apa yang dibacanya dalam sekali lihat. Bagi siapapun yang mengidamkan dan ingin mewujudkan pertemuan berbagai peradaban yang berbeda-beda dalam balutan cinta dan penuh perdamaian – bukan pertentangan dan permusuhan (clash of civilization) – saya kira harus membaca novel ini. Semoga Allah memberikan ibrah yang luar biasa pada para pembaca, timbangan amal shalih di hari akhir kelak bagi penulisnya, serta pahala yang berlimpah atas keagungan perjuangan Badiuzzaman Said Nursi nan senantiasa abadi dalam karya-karyanya yang membawa cahaya Tauhid bagi dunia. Amin ya rabbal alamin.

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Imran: 169 – 170).

Bumi Siliwangi, 7 Agustus 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar