RESENSI BUKU “API TAUHID”
Pengarang :
Habiburrahman El Shirazy
Tebal Buku :
xxxvi + 588 halaman
Harga Buku :
Rp. 79.000,-
Penerbit :
Penerbit Republika
Tahun Terbit :
November, 2014
Ir.
Soekarno, Presiden pertama bangsa Indonesia, pernah berpesan, “Janganlah
Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Kita hidup berdasarkan sejarah. Kita hari ini
adalah hasil dari apa yang kita lakukan kemarin. Begitu pentingnya sejarah bagi
kehidupan manusia namun hanya sedikit yang benar-benar ingin mempelajarinya. Enek,
tekstual, dan menjemukan, itulah beberapa hal yang sering dikeluhkan oleh para
pembelajar sejarah. Tapi, hal ini akan berbeda ketika kita membaca buku yang
berjudul “Api Tauhid” karya Habiburrahman El Shirazy.
Api
Tauhid merupakan karya pertama kang Abik yang menitikberatkan pada sejarah. Setelah
sebelumnya sukses dengan novel-novelnya yang bertajuk “Cinta”, pria lulusan
Universitas Al-Azhar University Cairo yang dinobatkan sebagai Novelis No. 1
Indonesia, kali ini mencoba menuangkan kisah seorang ulama besar Turki yang multitalenta
dan berkarakter dalam sebuah novel sejarah. Ulama tersebut kini kita kenal
sebagai sang keajaiban zaman yakni Syaikh Badiuzzaman Said Nursi.
Said
Nursi merupakan salah satu tokoh berpengaruh di Turki yang hidup pada tahun 1878
hingga Maret 1960. Beliau dikenal sebagai ulama Islam terkemuka yang menulis
buku Risalah Nur, sebuah karya tafsir Al-Qur’an dengan tebal lebih dari enam
ribu halaman. Ia diberi gelar Badiuzzaman, yang berarti keajaiban zaman, atas
dasar kejeniusannya menghapal dan memahami puluhan kitab referensi penting yang
mengalahkan ilmu ulama-ulama senior lainnya di usianya yang belia. Adapun salah
satu kegelisahan yang menjadi sorotan beliau di zaman itu yakni tentang adanya
sekulerisasi pendidikan yang diusung oleh negara-negara Eropa. Hingga akhirnya
beliau menawarkan konsep pembentukan Medresetuz
Zahra yang menggabungkan tiga hal yakni ilmu-ilmu modern, madrasah yang
mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para
sufi yang membina penyucian jiwa dan kehalusan adab. Sayang, atas dasar
ide-idenya itu beliau menjadi sering berhadapan dengan para penguasa dan mulai
dikucilkan bahkan dipenjarakan. Namun, perjuangan beliau justru baru dimulai
saat itu. Dari penjara ke penjara, beliau menuliskan ayat-ayat cahaya yang
menerangi bumi Andalusia itu. Ketika adzan dibungkam, beliau tetap menyuarakan
kalimat Tauhid dari bilik sepinya. Saat kegelapan datang, dialah yang membawa
cahaya untuk memusnahkannya. Dan ketika orang-orang mulai pesimis, ialah yang
membawa api harapan untuk membakar semangat-semangat para pejuang di tanah
airnya. Beliaulah Said Nursi sang Badiuzzaman.
Berbeda dengan buku-buku sejarah lainnya,
kang Abik mengemas cerita Said Nursi secara apik dengan menghadirkan
tokoh-tokoh fiksi yakni Fahmi, Nuzula, Aysel, dan Emel. Kisah hidup Fahmi yang
dibungkus dengan konflik percintaan khas kang Abik berlatar di Jawa Timur
(Indonesia), Madinah (Arab Saudi), dan juga Istanbul (Turki), semua itu
menambah kekayaan pengetahuan dan latar tempat yang istimewa dalam novel ini.
Dan di sela-sela cerita itulah, pembaca akan dibawa secara mendalam menyusuri
kisah hidup Said Nursi dengan bercerita, bukan seperti penjelasan tekstual
dalam buku-buku sejarah lainnya. Hal itu jugalah yang membuat novel sejarah ini
sangat istimewa, tidak menjemukan, dan membuat pembaca ingin segera melahap
habis ceritanya dalam semalam.
Inilah
novel sejarah pembangun jiwa yang membawa cahaya keagungan cinta sang mujaddid. Inilah sebuah karya yang
membawa nilai-nilai heroisme cinta ilahi. Novel biografi seorang ulama, sang
Badiuzzaman, yang telah menorehkan sejarah dalam perjuangan membawa cahaya di
masa terakhir kekhalifahan Turki Utsmani. Seorang pembelajar sejati yang
diberikan karunia menghapal apa yang dibacanya dalam sekali lihat. Bagi siapapun
yang mengidamkan dan ingin mewujudkan pertemuan berbagai peradaban yang
berbeda-beda dalam balutan cinta dan penuh perdamaian – bukan pertentangan dan
permusuhan (clash of civilization) –
saya kira harus membaca novel ini. Semoga Allah memberikan ibrah yang luar biasa pada para pembaca, timbangan amal shalih di
hari akhir kelak bagi penulisnya, serta pahala yang berlimpah atas keagungan
perjuangan Badiuzzaman Said Nursi nan senantiasa abadi dalam karya-karyanya
yang membawa cahaya Tauhid bagi dunia. Amin ya rabbal alamin.
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Q.S.
Al-Imran: 169 – 170).
Bumi Siliwangi, 7
Agustus 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar