“Adik gak mau makan!”
Teriakan itu menggema di seluruh ruang tamu yang
dihiasi berbagai keramik hasil kerajinan negeri Jiran, dengan ukiran-ukiran
khas negara tersebut yang unik dan jarang kita lihat di Indonesia. Di ruangan
itu, hanya terdapat satu orang wanita dengan anaknya yang berumur enam tahun.
Rewel. Tidak mau menuruti kata-kata dari Ibunya tercinta.
“Pokoknya adik gak mau makan. Titik!” Teriaknya
kembali.
Ibunya menghembuskan nafas sejenak. Bingung akan
kelakuan yang diperbuat oleh anaknya akhir-akhir ini. Entah hal apa yang
membuat anak semata wayangnya ini enggan menerima suapan nasi dari Ibunya. Berbagai
rayuan dan pujian telah dicoba lontarkan olehnya. Tapi, tetap saja. Nihil.
“Rangga.. Kamu makan dulu atuh ya.. Liat nih, pesawat terbangnya mau masuk mulut kamu..
Aaa’..,” bujuk sang Ibu sambil memainkan sendok nasi, berusaha memasukkan
masakan yang telah dibuatnya empat jam yang lalu.
“Enggak mau! Adik gak mau makan, Mamaah!!”
Teriaknya kembali memecahkan kesunyian di rumah itu untuk kedua kalinya.
Ibunya berhenti lagi. Ia kembali
menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa yang ada di dalam pikirannya menanggapi
situasi tersebut. Anak laki-laki yang mengenakan kaos putih berlogo Cubitus itu
kini tengah merapatkan erat-erat bibirnya, menolak dimasuki makanan apapun ke
dalam mulut besarnya. Situasi ini sudah hampir berjalan selama tiga puluh
menit. Harusnya di saat seperti ini, kakeklah yang selalu menenangkan hati
cucunya tercinta. Ya, kakek yang baik hati dan ramah. Ialah orangnya....
***
Siang itu
matahari memancarkan sinar suryanya ke seluruh penjuru kampung Rambutan,
membagikan semangat bekerja kepada orang-orang pedesaan untuk beraktifitas
selama hari itu. Terlihat satu-dua orang mulai berjalan menuju belakang
pekarangan rumahnya masing-masing. Hendak menuai benih, membajak tanah, atau
memanen hasil kerjanya beberapa bulan lalu. Memang, kampung ini terkenal dengan
prestasinya sebagai penghasil beras kualitas terbaik. Konon, hanya beras dari kampung
inilah yang berwarna putih cemerlang, kandungan gizinya sempurna, dimakan enak,
dimasak mudah, dan selalu laris di pasaran dengan harga tinggi.
Di salah satu
pojokan kampung terdapat sebuah rumah kayu kecil berukuran 15 x 15 meter
persegi. Rumah itu telah berdiri kokoh selama lebih dari dua puluh tahun di
sana. Saksi bisu besarnya seorang laki-laki yang saat ini sedang duduk santai
di atas kursi goyangnya. Menatap orang-orang yang berlalu lalang melintasi
pekarangan rumahnya menuju sawah yang ada di pinggiran kampung tersebut.
“Pagi, Kek!”
Sapa salah seorang pemuda dari kejauhan.
Pria itu
mendongak. Menatap sosok pemuda tinggi kurus yang telah dikenalnya. Rambut
gelombangnya berkibar tertiup angin. Langkahnya mantap sambil membawa pacul
yang selalu ia gunakan untuk bekerja. Adit. Begitu ia disapa oleh penduduk
kampung Rambutan.
“Ya, Pagi juga Dit.” Jawab Kakek dengan senyum
khasnya. Di kampung ini memang Kakek terkenal dengan orang yang ramah senyum. Setiap
orang yang bertemu dengan Kakek pasti diberikan senyum indahnya. Senyum lima
jari, sebut salah seorang fans Kakek.
“Mau kemana dirimu? Terlihat begitu bersemangat
tampaknya hari ini.” Sapanya.
“Biasalah, Kek. Memacul. Apalah lagi kerjaan yang
ada di kampung ini selain menjadi petani? Anak kecil, pemuda, sampai
kakek-kakek, semuanya petani! Sepertinya kita harus mengganti nama kampung ini
dengan kampung petani suatu saat nanti.” Canda Adit.
Kakek tertawa mendengar guyonan Adit.
Dipikir-pikir, benarlah memang apa yang dikatakan Adit. Delapan puluh persen
penduduk desa ini adalah laki-laki. Dan lebih dari setengahnya berprofesi
sebagai petani. Ya, petani. Pekerjaan itu telah mengakar sejak nenek moyang
dari neneknya Kakek mendiami tempat tersebut. Turun temurun dari generasi ke
generasi. Entah sampai kapan akan terus berlanjut seperti itu.
“Ngomong-ngomong, Kakek sudah mendengar bahwa
sawah Mbah Sudirman telah dijual?” Tanya Adit membuka percakapan.
Kakek terdiam sejenak. Sudirman adalah teman dekat
Kakek sejak kecil. Ia besar dan tumbuh bersama Kakek sejak masih dibuaian
Ibunya. Kemana-mana mereka selalu berdua. Susah senang dilewati bersama.
Termasuk belajar bercocok tanam, merekalah jagonya. Dimana ada Kakek, disana
pasti Sudirman berada pula. Macam perangko di surat. Begitulah hubungan mereka,
setidaknya hingga kemarin lusa.
Kakek menghembuskan nafas pelan, “Ya, Kakek sudah
mendengarnya. Sungguh sangat disayangkan, sawah warisan Bapaknya yang menjadi
mata pencaharian utama keluarga mereka akhirnya dijual kepada tuan-tuan berjas
itu. Padahal ia tahu, orang-orang berambut klimis itu hanya ingin membangun
jalan baru menuju kota mereka. Lihat saja beberapa bulan lagi, sawah itu pasti
sudah hilang tanpa bekas. Berbeda dengan janji manis yang selalu mereka
ucapkan.”
Adit duduk di sebelah Kakek. Menatap kuda besi
yang diparkir tak jauh dari rumah Kakek. Kendaraan para pria berjas yang sedang
mereka bicarakan itu berwarna hitam. Mulus. Bersih tanpa noda. Sudah lebih dari
dua bulan mereka menetap di desa ini. Melobi para pemilik sawah di belakang
gubuk kecil Kakek. Berucap rayuan gombal demi membangun jalan panjang menuju
kota mereka. Memang, hanya dengan melewati kampung ini, perjalanan dari kota
sebelah bisa dihemat lebih dari dua jam. Mungkin itulah yang menjadi alasan
mereka untuk terus menerus melobi masyarakat agar dapat menjual sawah-sawah
yang menghalangi kinerja mereka tersebut.
“Adit sedih Kek.” Ujarnya singkat mendengar ucapan
Kakek. “Sudah lima belas tahun Adit menjadi petani. Menuai benih, menunggu
siang malam, dan merasakan senangnya panen di akhir tahun. Itulah yang membuat
Adit semangat dalam menjalani pekerjaan ini. Menurut Adit petani bukanlah
pekerjaan yang hina. Bahkan pekerjaan ini sangat terhormat! Bayangkan saja,
menyediakan pasokan pangan untuk orang-orang di seluruh penjuru negeri dengan kualitas
terbaik. Mau makan apa orang Indonesia besok jika kita tidak ada!?” Tutup Adit
dengan sedikit emosi.
Kakek menatap sayu pemuda disampingnya. Ia bahkan
telah lima puluh tahun lebih menjalani pekerjaan ini sebagai mata pencaharian
utama keluarganya. Dengan pekerjaan ini, anak-anaknya kini telah tumbuh sukses
dan bekerja di kota sana. Meninggalkan dirinya yang menghabiskan masa tua
sendiri di gubuk kecilnya sendirian.
“Begitulah hidup Dit.” Kakek mulai berkata.
“Tidaklah semua bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Semuanya
kembali pada Gusti Allah. Pemilik tanah dan dunia ini yang sebenarnya. Sang
pemberi rezeki dan juga karunia. Yang menurunkan hujan dan menyuburkan tanaman.
Yang mendatangkan distributor dan mengantarkan beras kita kepada para konsumen
di luar sana. Kembalikan semuanya pada Yang Maha Memiliki. Dialah yang tahu apa
yang terbaik bagi hamba-Nya.”
Adit berpikir sejenak, mempertimbangkan ucapan
Kakek barusan. Dari seluruh petani yang ada di desa ini, hanyalah Kakek
satu-satunya yang belum menjual sawah di pojok kampung ini. Hanya Kakek, yang
berpegang teguh dalam pendirian untuk tetap tidak menjual sawahnya kepada para
pria berjas itu. Ditawari seperti apapun, Kakek keukeuh tidak mau menerima sepeser pun uang haram tersebut. Uang
hasil lobi dan merampas hak rakyat dengan menggelembungkan angka-angka di
proposal pengajuan dana pemerintahan daerah.
“Uhuk..
Uhuk.. Uhuk!!” Tiba-tiba Kakek terbatuk. Parah. Sejenak matanya memerah dan air
mata mulai berlinangan. Menyakitkan. Memegang dadanya, hendak seperti muntah.
Seketika Adit bangkit dari tempat duduknya. Panik.
Pria tua itu batuk darah. Merah, kental, dan hangat. Takut-takut ia mendekat
pada Kakek seraya bertanya, “Kek.. Kakek gak apa-apa??”
“Uhuk.. Uhuk.. Iya, Kakek gak apa-apa kok Dit.
Kamu tenang aja ya.. Kayaknya Kakek butuh minum dan istirahat dulu..” Pria tua
itu pamit. Berusaha berdiri sambil bergetar kedua tangannya. Kakinya seakan tak
mampu menopang beban tersebut. Patah-patah, Kakek berusaha untuk bangkit dari
kursi goyangnya. “Sampai nanti Dit....” Pria tua itu berujar.
Adit terpaku di tempat ia berdiri. Bingung harus
berbuat apa. Menatap badan lemah itu berusaha bangkit, berdiri, dan mulai
berjalan gontai dengan ke arah pintu rumahnya. Perlahan-lahan.. Hingga pada
akhirnya..
“GUBRAK!!”
“KAKEEEEKKK!!!!”
Dari kejauhan terdengar suara alat-alat berat
mulai berdatangan. Membawa pasokan peralatan canggih lainnya. Siap meratakan
seluruh yang ada di hadapannya....
***
Adik kecil itu masih bersungut-sungut. Ingin
bertemu sang Kakek, ujarnya. Ingin disuapi dengan Kakek, pintanya. Ingin Kakek,
Kakek, dan Kakek! Egonya. Sedang di depannya, Ibu satu anak itu berdiam diri.
Mencari sejenak kata-kata yang tepat untuk memberitahukan kepada sang buah
hatinya tentang kondisi yang ada. Sudah lebih dari satu minggu pria tua itu
menghilang. Tanpa bisa ditemui kembali di gubuk tuanya.
“Rangga sayang.. Kamu inget makanan kesukaan
Kakekmu apa?” Tanya Ibunya lembut.
“Nasi, Mah.. Nasi bikinan Kakek yang berasal dari
beras yang ditanam langsung di sawah milik Kakek! Juga Ikan! Kakek paling suka
makan ikan goreng!!” Seru Rangga, bersemangat.
Ibunya tersenyum, lantas berkata, ”Benar sayang..
Beras bikinan Kakek memang nomor satu di dunia. Dan kamu tau kalo nasi ini
berasal darimana?” Seraya mengangkat sendok penuh nasi di hadapannya.
Rangga sejenak menatap bongkahan nasi di
hadapannya. Mengernyitkan dahi. Sejenak kemudian menggeleng-gelengkan
kepalanya, “Gak tau, Mah...,” ucapnya jujur.
Ibunya memaklumi, “Nasi ini sayang.. Berasal dari
sawahnya Kakek!” Ujarnya.
Rangga terdiam. Matanya berbinar-binar seperti
baru mendapatkan kejutan di hari ulang tahunnya. Dengan penuh keragu-raguan ia
bertanya, “...Bener, Mah? Ini nasinya Kakek??”
“Iyaa sayang! Ini nasi Kakek!”
Seketika itu Rangga melompat dari tempat duduknya
dan segera mengambil posisi di hadapan Ibunya. Mengambil alih piring dan sendok
dari tangan Ibunya. Memulai ritual makan dengan lahap. Sepertinya ia kelaparan
karena perutnya belum di isi dari semalam.
“Rangga sayang.. Pelan-pelan sayang,, Nanti keselek lho! Hayoo.. Udah baca doa mau
makannya beluumm..?” Tanya Ibunya mengingatkan.
Sekejap Rangga beneran tersedak. Diambilnya
minuman yang berada di depannya. Buru-buru menegaknya sampai habis. Tersenyum
jahil dan berkata, ”Hehe.. Belum Mah.. Adik lupa....”
Ibunya tersenyum kembali menatap buah hatinya
mengangkat kedua tangannya seraya mengucapkan doa mau makan. Hanya beberapa
saat saja. Selanjutnya, kembali melahap makanan yang ada di depannya sampai
hampir habis. Teringat sesuatu, dan ia bertanya, “Mah.. Kakek dimana?”
Rona pucat mulai menghiasi wajah tua itu. Bingung
akan mengatakan apa kepada anak semata wayangnya. Teringat sosok tua yang tidak
akan bisa ditemui kembali itu. Bibirnya hanya dapat berucap, “Kakek sedang
sibuk Ngga, memanen beras dari sawahnya yang berlimpah ruah itu. Sekarang kamu
cukup berterima kasih dan bersyukur kepada Yang Maha Esa, kepada supir beras,
sama Mbok Minah ya. Karena berkat mereka, beras Kakek bisa sampai ke rumah ini
dan dimasak sama Mamah!” ucap Ibu satu anak tersebut.
“Hmmm.. Gitu ya, Mah....” Ucap Rangga sedih.
Melanjutkan makanan yang tinggal sedikit di piring hijaunya tersebut.
Membayangkan Kakek berada di sebelahnya dan menemani ia bercanda sambil
mengunyah nasi tanak buatan asli pedesaan.
“Rangga kangen Kakek....” ucapnya.
***
Mesin-mesin itu mulai melaksanakan tugasnya.
Seraya meratakan bangunan tak bertuan yang ada dihadapannya. Sementara yang
lain memporakporandakan tanaman yang ada di belakang gubuk tersebut. Padi,
Jagung, dan rempah-rempah lainnya menjadi korban keganasan mesin tersebut.
Tanpa pandang bulu, seketika semuanya rata dengan tanah. Menjadi bukti
kerakusan dan ketamakan dari manusia.
(Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba Imtek Islamic Championship 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar