“Tiadalah
Kami mengutus dirimu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (Q.S. Al-Anbiya’:
107)
Lima belas abad lalu, tepatnya pada
tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah (20 April 570 M), Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib dilahirkan ke dunia ini. Sosok tauladan umat, manusia yang
paling jujur dan bergelar Al-Amin,
pemimpin bangsa yang paling adil, orang yang paling berpengaruh sepanjang
sejarah kehidupan manusia, dan panutan bagi seluruh umat muslim di seluruh
dunia.
Lima belas abad lalu, risalah Islam
mulai disebarluaskan. Berawal dari wahyu yang disampaikan malaikat Jibril di
gua hira’ pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 611 M), berangsur-angsur ayat
demi ayat turun selama 23 tahun hingga lengkaplah mukjizat terbesar dari Nabi
Muhammad Saw. sebagai pertanda telah diangkatnya beliau sebagai Nabi dan Rasul
Allah di muka bumi ini.
Lima belas abad lalu, dimulailah sejarah
baru kepemimpinan oleh Khulafaur Rasyidin.
Abu Bakar As-Siddiq yang berfokus pada bidang sosial, budaya, dan penegakan
hukum. Umar bin Khattab yang memulai ekspansi Islam ke Jazirah Arabia,
Palestina, Syiria, Persia, dan Mesir. Utsman bin Affan dengan berbagai
pembangunan fasilitas negara berupa bendungan, jembatan, perluasan jalan, dan
masjid-masjid. Serta Ali bin Abi Thalib dengan segala kecakapannya dalam bidang
militer dan strategi perang.
Lima belas abad lalu, seiring dengan terjadinya
perkembangan zaman, peradaban Islam juga mulai mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan. Sistem perekonomian, ketatanegaraan, hukum perdagangan, hukum
pidana, ilmu pengetahuan alam, filsafat, astronomi, geografi, kedokteran, dan ilmu-ilmu yang lainnya yang
mendapat berbagai kontribusi di bawah tokoh-tokoh ilmuwan Islam. Dan pada masa itulah, umat Islam mencapai
masa-masa kejayaannya.
Namun kini, apa yang terjadi? Umat Islam
menjadi bangsa yang terpuruk dan terbelakang. Kabar-kabar dan isu-isu tentang
penemuan-penemuan oleh ilmuwan Islam tidak pernah terdengar lagi. Terorisme dan
perselisihan antarsaudara seiman semakin marak di layar kaca. Perang
antarnegara menjadi ramai. Dan isu-isu politik mengenai berbagai kasus korupsi
dan penyelewengan uang negara justru banyak dilakukan oleh para pakar politik
yang notabene latar belakang pendidikannya tinggi dan beragama Islam. Mereka,
yang dulu dijuluki sebagai kaum intelek dan religius, justru sekarang ini malah
melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh kaum muslim. Jadi, apa
yang salah dari semuanya?
Zaman
Kejayaan Islam
“..Dan
masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar
mereka mendapat pelajaran).” (Q.S.
Al-Imran: 140)
Ketika itu, Islam pernah memasuki
masa-masa kejayaannya di dunia. Selama lebih dari 5 abad, berbagai filsuf,
ilmuwan, dan insinyur di dunia Islam memberikan banyak kontribusi terhadap
perkembangan teknologi dan kebudayaan. Didukung dengan letak geografis yang
strategis, kota Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab menjadi
pusat pertukaran gagasan dan barang. Akibatnya, peradaban Islam tumbuh,
berkembang, dan meluas dengan berdasarkan pada kegiatan ekonomi dagangnya,
berkebalikan dengan orang-orang Kristen, India, dan Cina yang membangun
masyarakat dengan berdasarkan kebangsawanan kepemilikan tanah pertanian.
Ketika itu, Islam pernah menduduki puncak
ilmu pengetahuan di dunia. Berbagai macam dasar ilmu, yang saat ini berperan
penting dalam berbagai konsentrasi ilmu pengetahuan dunia, sebenarnya berasal
dari ilmuwan-ilmuwan Islam. Sebut saja Al-Khawarizmi sebagai penemu aljabar dan
angka nol yang menjadi nadi dari ilmu matematika serta Ibnu Sina sebagai ahli
astronomi, ahli filsafat, dan ahli ilmu kedokteran yang sangat terkenal dengan
metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam di masanya. Mereka berdua
adalah ilmuwan muslim yang tanpa jasanya mungkin ilmu pengetahuan yang kita
ketahui tidak akan berkembang sebagaimana mestinya seperti sekarang.
Namun, masa-masa itu kini sudah berlalu.
Tak ada lagi masa-masa kejayaan Islam yang kaya akan ilmuwan. Tidak ada lagi
pemuda-pemuda yang haus akan ilmu. Tidak terlihat lagi pemimpin-pemimpin yang
adil, bangsa yang sejahtera, dan masyarakat yang saling mengayomi. Berbagai
kultur dan budaya yang mewarnai negara inilah yang menjadi penyebabnya.
Berbagai kebiasaan, pendidikan, dan mental yang dibangun sejak kecil, itulah
yang menjadi dasar mengapa semua ini bisa terjadi.
Permasalahan
Indonesia Saat Ini
Indonesia patut berbangga sebagai negara yang
memiliki umat muslim terbanyak di dunia. Dengan berbagai potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusianya, serta didukung dengan letak geografis yang
sangat strategis, Indonesia menjadi pusat wisata, pusat perdagangan, dan tempat
transit berbagai turis mancanegara. Hal ini mengakibatkan bercampurnya kultur
dari berbagai macam negara ke Indonesia, baik maupun buruk. Salah satunya
adalah kultur instan.
Di
negara Barat, terdapat banyak restoran cepat saji yang menyediakan
makanan-makanan secara instan. Pelanggan tidak perlu menunggu berlama-lama,
cukup duduk dan berdiam diri untuk beberapa saat, makanan pun siap untuk
dihidangkan. Seiring dengan berjalannya waktu, restoran-restoran seperti ini
mulai banyak bermunculan di Indonesia. Perlahan-lahan, masyarakat lebih senang
mendatangi restoran cepat saji dibandingkan harus menunggu dan bersusah payah
untuk membuat masakan sendiri di rumahnya masing-masing. Budaya ini akhirnya
merambat ke berbagai bidang dan aspek kehidupan. Mahasiswa tidak mau
bersusah-susah belajar dan inginnya mendapat nilai besar secara instan.
Karyawan tidak suka berlama-lama bekerja dan inginnya mendapatkan uang yang
banyak secara instan. Masyarakatpun tidak mau berkreasi, berinovasi, dan
berkarya untuk menjadi ilmuwan karena menurut mereka cukup mengambil
penemuan-penemuan terdahulu secara instan. Dan implikasi dari hal tersebut
adalah banyak orang yang akhirnya memilih “jalan pintas” yaitu dengan cara-cara
yang tidak baik untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan secara instan seperti
mencontek, korupsi, dan sebagainya.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan
leluhur kita, para tokoh sejarah, dan juga Rasulullah Saw., bahwa tidak ada
yang namanya jalan pintas. Indonesia dapat merdeka setelah melalui berbagai
macam perjuangan dan pengorbanan. Butuh waktu lebih dari 350 tahun untuk
bersabar dijajah oleh Belanda dan Jepang, melepaskan kepergian saudara-saudara
kita di medan peperangan, hingga akhirnya terproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Rasulullah Saw. ketika pertama kali
menyebarkan agama Islam mendapatkan dua respon dari masyarakat yaitu menerima
dan menolak. Rasulullah Saw. dipanggil tukang bohong, penyihir, kehidupannya
terancam, bahkan keluarganya sendiri meninggalkannya. Akan tetapi, setelah
berusaha dan berdoa, serta melalui berbagai macam peristiwa, barulah agama
Islam dapat diterima oleh masyarakat. Itulah bukti bahwa setiap hal yang kita
lakukan membutuhkan usaha dan pengorbanan.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang dapat
kita lakukan untuk mengulang kembali peradaban Islam yang dulu pernah ada? Agar
negara ini menjadi negara terbaik di antara negara yang lain? Dan supaya umat
ini meraih kejayaannya yang pernah diraih kala itu?
Menulis
Untuk Peradaban
“Kalau
kamu bukan anak raja, dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”
(Imam Al-Ghazali)
Pada
masa Imam Al-Ghazali, profesi yang terkenal yaitu raja. Seorang raja dapat
dengan mudah memerintah bawahannya untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
Semua yang ia mau bisa didapatkan, dan semua kekuasaan telah ia genggam.
Kemudian profesi yang kedua adalah ulama besar. Setiap ucapan dari seorang
ulama besar akan menjadi panutan, tingkah lakunya akan diperhatikan, dan
ilmunya pasti mengesankan. Sedangkan profesi yang ketiga yaitu penulis.
Menulis dapat dilakukan oleh siapa saja.
Menulis dapat membawakan tema tentang apa saja. Menulis juga cukup menyediakan
barang-barang yang sederhana. Cukup dengan membawa pena dan buku, maka
setelahnya kita dapat menuliskan sesuatu. Dengan tulisan, kita dapat
menginspirasi. Dengan tulisan, kita dapat berbagi. Dengan tulisan, kita dapat
menyampaikan apa yang kita pikirkan. Dan dengan tulisan, kita dapat mengabadikan
ilmu yang kita punya.
Dahulu, para penulis terbatas hanya untuk
kalangan tertentu saja. Para ilmuwan-ilmuwan yang mengabadikan temuan-temuannya
ataupun ilmu yang didapatkannya ke dalam sebuah buku, merekalah yang berhak
menjadi penulis. Penulis pun menjadi profesi yang berharga di sisi Rasulullah
Saw. Berkat jasa para penulis, Alquran yang saat ini kita pegang dapat
tersampaikan dengan baik tanpa kekurangan satu tanda baca pun di dalamnya.
Betapa sangat berarti dan pentingnya profesi menulis di kala itu.
Saat ini, menulis menjadi sesuatu hal
yang sangat mudah untuk dilakukan. Dengan berbagai perkembangan media yang ada,
menulis dapat kita lakukan dimana saja dan kapan saja. Facebook, Twitter, dan Blog menjadi
salah satu media menulis yang sering dipergunakan. Bahkan, melalui menulis pun
kita dapat berdakwah dan menyeru kepada kebaikan.
Menulis, dapat menjadi awal untuk
membangun kembali peradaban Islam. Kita tahu bahwa di masa sekarang, perang
melalui pemikiran lebih baik dibandingkan perang melalui fisik. Dengan
keterbatasan yang ada, kita tidak bisa untuk tiba-tiba pergi ke Palestina dan
berjihad ke sana dalam rangka melawan zionisme. Rasul pun menyampaikan agar
tidak semua orang pergi ke medan perang. Akan tetapi, sebagian lagi diminta
untuk menuntut ilmu seperti diriwayatkan dalam ayat berikut.
“Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap
golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar
mereka dapat menjaga dirinya. Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah
orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan
sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang yang bertaqwa.”
(Q.S. At-Taubah: 122-123)
(Q.S. At-Taubah: 122-123)
Tujuan dari ayat tersebut jelas, bahwa saat
ini yang kita perlu lakukan adalah konsentrasi terhadap fokus ilmu
masing-masing, kemudian sampaikanlah! Tuliskanlah segala sesuatu yang telah
kita dapatkan, tuliskanlah segala sesuatu yang bermanfaat, dan tuliskanlah
segala sesuatu yang bermaksud untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari
kemunkaran. Diawali dengan tulisan ini, mari kita bersama-sama membangun
kembali peradaban Islam melalui tulisan. Bismillahirrahmanirrahim.
(Esai ini sempat diikutsertakan dalam Lomba Esai SAR DSV 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar