Minggu, 29 Maret 2015

ECA Lovers

ECA Lovers
By : M. Ginanjar Eka Arli

Tak, tik, tuk. Jari jemariku mulai menari lincah di atas tuts keyboard laptop. Otakku mulai berpikir kembali. Buntu. Kugarukkan kepala yang tidak gatal. Aahh! Deadline tinggal satu jam lagi!! Tapi, aku harus ikut event ini. Harus. Karena, event ini berarti untukku.. dan juga untuknya.

***

"Kang Agi, ikut kan?" Tanyanya.

Ku tengok gadis berkerudung di sebelahku. Anjani, itulah namanya. Salah satu gadis cantik dan pemberani yang pernah ku kenal. Semangatnya sungguh tak pernah padam. Membuatku iri dan selalu ingin diberikan semangat itu. Lagi.. dan Lagi.

"Maksud kamu, ikut apa, An?" Balik kubertanya kepadanya.

"Yee.. Itu lho kang. Event menulis di grup ECA. Kan kang Agi suka nulis. Sekali-sekali tulisin-lah cerita kang Agi buat aku." Pintanya manja.

"Hmm, tumben kamu minta begitu sama aku, An. Pasti kamu ada maunya yaa?" Godaku kembali.

"Iihh, apaan sih kang Agi, mah." Dicubitnya lengan kananku. Cemberut. Lucu sekali wajahnya ketika sedang ngambek begini.

"Hehe.. Aku mah masih banyak belajar untuk nulis, An. Memang, kali ini lombanya tentang apa ya?" Tanyaku penasaran.

"Ehm..," Ucapnya pelan sambil terlihat malu-malu. "Temanya itu tentang.. cinta, kang."

"Eh, cinta, An?" Tanyaku memastikan.

"Iya, kang. Hehe. Kang Agi pasti bisa. Kan kang Agi juga udah banyak pengalaman tentang cinta. Kata PJ Event-nya cinta ini nggak mesti tentang cinta kepada pasangan kita, tapi juga bisa kepada orang tua, saudara, ataupun.. sahabat dekat." Ujarnya sambil melirikku.

"Hmm gitu ya. Sepertinya menarik sih. Nanti aku coba dulu ya, An. Doakan saja, mudah-mudahan aku bisa mengikutinya." Jawabku sambil tersenyum.

"Waah, bener ya kang Agi. Janji nih? Janji jari kelingking?" Tanyanya sambil menyodorkan tangan.

"Iya, janji jari kelingking." Kataku sambil mengaitkan jari kelingkingku kepadanya. Erat dan hangat. Sore itu, kolam cinta menjadi saksi dari janji kami berdua. Ya, janjiku untuk menuliskan kisah kita berdua untuknya.

***

Kata orang, karya terbaik adalah karya yang terbuat dari hati. Namun, di saat kepepet begini, apakah "The Power of Kepepet" berlaku juga untuk memancing kembali inspirasi-inspirasi yang terdapat dalam hatiku tersebut? "Grrr..," ujarku geram. Jarum jam seakan tidak mau mengasihaniku. Padahal hanya satu kenangan yang ingin aku tuliskan. Ya, hanya satu. Kenangan itu. Kenangan yang tidak akan kulupakan sampai kapanpun.

***

"Kamu kenapa, An?" Tanyaku kepadanya.

Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar. Napasnya tak beraturan. Satu hal yang pasti, dia sakit. Namun setiap kutanya hal itu kepadanya, dia hanya menggelengkan kepalanya. "Anjani nggak apa-apa kok, kang. Akang lanjutin aja dulu karyanya. Aku mohon. Demi Anjani juga, kang." Pintanya memelas.

Hatiku gelisah. Di saat begini ia masih saja memintaku menulis? "Ya Allah, jangan biarkan bidadari hatiku terluka lebih dari ini. Cukuplah hatiku tersayat oleh keadaannya sekarang. Kumohon, berikanlah kesembuhan baginya." Doaku dalam hati.

Tanganku masih menggenggam lembut jemarinya. Sungguh, aku tak ingin ia kemana-mana. Para perawat dalam ruangan putih ini masih saja berlalu lalang. Menangani pasien yang tak henti berdatangan. Ya, aku dapat memahami perasaan mereka yang mungkin letih akan pekerjaannya. Namun, aku rasa Anjani juga butuh perawatan lebih! Kemana dokter-dokter berada pada saat seperti ini? "Aarrgh, kehidupan ini memang selalu tidak adil," ujarku kesal.

"Kang, makasih ya." Katanya tiba-tiba.

Aku menoleh kepada Anjani. Gadis berkerudung itu tersenyum kepadaku. Sebuah senyum simpul yang manis. Senyum yang pernah membuat lidahku kaku dan tak mampu berkata-kata kembali dihadapannya.

"Terima kasih untuk apa, An?" Tanyaku balik.

Ia hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kembali kepadaku. "Nggak apa-apa, kang. Anjanji hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada akang. Itu saja. Mumpung Anjani masih ada waktu dan kesempatan." Jawabnya kembali.

"An, kamu jangan ngomong gitu, An." Aku mulai khawatir pada keadaan dirinya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar kembali. Aku panik. Cairan merah tiba-tiba saja keluar dari dua buah lubang hidungnya. Tak ayal, akupun segera berteriak, "Dokteerr!!"

***

Tak, tik.. tuk. Tutsku berhenti di kalimat terakhir yang kuakhiri dengan tanda titik. Tanpa sadar, hujan telah turun tak hanya dihatiku, namun juga mengalir hangat di belahan pipiku. Basah. Memang, terkadang kenangan itu menyakitkan untuk kita kenang. Terkadang tidak semua kenangan yang ingin kita ungkapkan. Namun, kenangan ini menurutku harus disampaikan. Agar semua orang tahu. Agar semua orang dapat menjadi saksi akan perjalanan kita berdua.

Cinta, satu kata berjuta makna. Tidak pandang bulu kepada siapa ia akan berlabuh. Tidak pandang situasi apalagi kondisi untuk menarik hati. Berjuta rasa ia hadirkan untuk membuat kita tersenyum, tertawa, dan juga tersakiti. Tidak semua cinta mesti memiliki. Namun cinta yang berharga adalah yang selalu kita kenang sampai kapanpun.

Karena itulah, karya ini kupersembahkan untuk wanita yang aku kasihi. Wanita yang mempertemukan aku dengan grup kepenulisan ECA, yang telah menjadikanku salah satu bagian dari ECA Lovers, dan juga menguatkanku selalu untuk menulis dan berkarya setiap waktu. Gadis cantik nan elok rupawan, tempat aku membagi kisahku bersamanya. Kali ini, kisah ini kutorehkan khusus kepadanya. Untuk kalian para pujangga cinta, sebagai saksi dari kisah kami berdua. Juga untuk ECA, sebagai wadah pelampiasanku untuk mengukir cerita ini menjadi kisah yang abadi sepanjang masa. Terima kasih ECA. Dan selamat jalan kekasihku, Anjani.

Bumi Siliwangi, 29 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar