Minggu, 22 Maret 2015

Senja di Selasar Masjid Itu

Senja di Selasar Masjid Itu
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

    “Ka..,” ucapku pelan.
    
    Perlahan ia memalingkan wajahnya kembali. “Iya, kak?” jawabnya singkat.

    “Ehm.. Nggak papa, sih. Hehe. Hati-hati di jalan ya.”

    Ia menatapku sejenak. Bingung. Tapi sedetik kemudian ia pun membalas, “Oke, kak. Kakak juga ya!” Senyumnya mengembang.

    Dan hari itu, matahari senja menjadi saksi kebisuanku untuk kesekian kalinya. Hari itu, lagi-lagi aku tidak bisa mengungkapkannya.

                                                                       ***

    “Gi, makan nggak?”

    Kulihat orang yang berada disebelahku. Agus, ia adalah sahabatku semenjak tingkat satu di perkuliahan ini. Perawakannya kecil, tapi agak berisi. Dengan rambut bergelombang dan jenggot tipis di dagunya, menambah aura “Rohis” bagi dirinya. Memang, dia adalah salah satu aktivis Lembaga Dakwah Kampus disini.

    “Nggak tahu nih, Gus. Lagi nggak nafsu.” Jawabku singkat.

    Tiba-tiba ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke depanku. “Kenapa, Gi? Lagi ada masalah ya?” Tanyanya.

    “Nggak, Gus. Biasa aja.” Balasku.

    “Bohong!”

    “Yee, nggak percaya. Terserah aja sih.” Acuhku kepadanya.

    Kulihat ia terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba disentuhnya pundakku, “Gi, kita udah kenal selama tiga tahun. Tiga tahun! Aku tahu kalau kamu lagi ada masalah. Cerita aja!”

    Diriku terpana. Tak kusangka Agus begitu perhatian kepadaku. Memang katanya orang Jawa itu ramah, baik, dan perhatian kepada orang-orang yang mereka kenal. Aku baru percaya kalimat itu setelah bertemu Agus, orang asli Wonogiri ini.

    “Baiklah, tak ada salahnya juga jika kuceritakan masalah ini kepadanya,” pikirku dalam hati.

    Ku tarik napas sejenak. “Jadi begini, Gus... sebenarnya ada sesuatu yang memang sedang kupikirkan.” Kutatap matanya dalam-dalam seraya ingin mencurahkan segenap perasaanku melalui mataku ini. Ia pun membalas tatapanku dan menjawab singkat, “Teruskan, Gi.”

    “Lebih tepatnya, ini merupakan salah satu penyakit mahasiswa tingkat akhir, Gus. Jika kamu tahu maksudku.”

    Agus kelihatan bingung. Diliriknya sebentar ke sekitar tempat kita duduk. Selasar masjid kampus ini kelihatan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa kelompok sedang berdiskusi dengan ramai. Bercanda tawa sambil mengerjakan tugas. Mahasiswa.

    “Maksud kamu, Gi? Tentang virus itu...?” Tanyanya tidak yakin.

    “Iya, Gus. Kayaknya aku mulai kena VMJ.”

    Ditutupnya wajah dengan kedua tangan. Ia seakan-akan diam seribu bahasa. Entahlah apa yang dia pikirkan sekarang. Namun ku yakin, banyak yang berlalu lalang di pikirannya saat ini seperti jalanan Bandung di kala weekend. Padat merayap.

    “Jadi, begitu toh...” ujarnya pelan.

    Sontak ku lihat ia kembali. Senyum tipis kini mengembang di wajahnya.

    “Ternyata seorang Agi pun sekarang udah dewasa!” Godanya sambil tertawa.

     “Hus! Jangan gitu ah, Gus. Aku kan jadi malu.” Timpalku.

    “Hehe.. Lalu, siapakah gadis yang beruntung itu, Gi? Apakah aku mengenalnya?”

    Kupikir sejenak. “Sepertinya tidak, Gus. Aku juga sebenarnya tidak sengaja bertemu dengannya di suatu acara. Ketika itu, kami duduk bersebelahan. Entah kapan dimulainya, tiba-tiba saja kami sudah mengobrol dengan akrab dan sampai saat ini kami sesekali masih bertemu atau mengobrol via sms atau facebook. Dia memang satu kampus dengan kita, tapi kurasa tidak banyak yang mengenalnya karena dia aktif di luar kampus.”

    “Hmm.. Begitukah, Gi? Lantas apa yang menarik dari dirinya?” Tanya Agus menyelidik.

    “Aku juga sebenarnya nggak tahu sih, Gus,” pikirku menimbang, “Mungkin karena parasnya yang menawan, tutur lembut bahasanya, kesamaan hobi kami, dan juga ... dia seorang calon pendidik dan hafidzoh.” Pungkasku.

    “Hafidzoh, Gi?”

    “Iya, Gus. Dan hal itu pula yang membuat aku kurang percaya diri. Kamu pikir aku bisa bersanding dengan hafidzoh, Gus? Itu bagaikan punduk merindukan rembulan. Mimpi!” Sambarku.

    Suasana hening kembali. Terik matahari mulai terasa kembali di luar sana. Sepertinya ia sudah sabar ingin cepat-cepat berganti dengan rembulan. Sahabat karibnya semenjak dahulu kala. Di saat aku sedang menikmati semua itu, tiba-tiba Agus mulai berbicara kembali.

    “Gi,” ucap Agus sambil menatapku, “Sepertinya kamu harus belajar satu hal.”

    Rasa penasaranku timbul. “Apa itu, Gus?”

    “Kamu tahu kenapa ada peribahasa ‘Bagaikan punduk merindukan rembulan’? Itu karena punduk tidak pernah berani untuk mengambil resiko menjemput sang rembulan. Ia terdiam, tertatih, dan membisu. Berharap sang rembulanlah yang akan mendatanginya suatu hari nanti.”

    “Namun...,” tambahnya lagi, “Kamu juga perlu tahu bahwa ada kalimat lain dari Rasulullah Saw. yang berbunyi ‘Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula.’ Kamu laki-laki yang baik, Gi! Aku yakin itu. Dan kamu berhak untuk mendapatkan perempuan yang baik, seperti dia.”

    Aku tertegun sejenak. “Tapi, Gus....”

    Brakk!! Kepalan Agus meninju lantai di antara kami. “Nggak ada tapi-tapi, Gi. Kamu itu harus optimis! Ucapan ‘tapi’ itu hanya untuk orang pesimis. Dan aku nggak suka itu keluar dari mulut kamu, Gi.”

    Detik itu aku baru sadar bahwa ternyata Agus adalah orang yang cukup keras. Pria kecil tapi bercita-cita besar ini benar-benar menampar lubuk hatiku yang terdalam. Mungkin benar adanya, karena aku yang selalu menunda dengan ‘tapi-tapi’ akhirnya akulah yang menuai kebimbangan dan keraguan. Mungkin betul juga yang dikatakan Agus, karena aku yang terus mencari alasan, akhirnya bisikan syaitan lah mengusik hati kecilku dan hampir membuatku mengumbar perasaan ini padanya. Perasaan suci yang harusnya kita tali dengan ikatan yang ‘sah’. Siapkah diriku? Tanyaku kembali pada diri ini.

    “Di kala senja ini, Gus. Pernah suatu kali aku hampir mengungkapkan perasaan ini padanya.” Ucapku sambil mengenang. “Di selasar inilah, aku selalu saja gagal mengatakan hal yang ingin kukatakan kepadanya. Aku ragu, bimbang! Benarkah aku pantas untuk mendampinginya? Matahari senja selalu menjadi saksi kebisuanku padanya. Setiap hari, setiap waktu. Hingga saat ini”

     “Hmm jadi gini ya, Gi.” Ujar Agus seperti ingin menasihatiku. “Wajar apabila kamu selalu gagal mengungkapkan perasaan ini padanya. Kamu tahu kenapa? Karena bukan di selasar masjid inilah tempat yang tepat untukmu mengungkapkan perasaan itu. Tapi di selasar rumahnya! Di hadapan kedua orang tuanya! Disanalah tempatmu seharusnya mengatakan segala yang perlu kau katakan. Untuk mengikatnya, menjanjikannya kebahagian, dan meniti jalan bersama menuju surganya. Percayalah padaku, kamu pasti bisa meyakinkannya.”

    Wajah Agus begitu yakin kepadaku. Entah mengapa ada semangat baru yang menelisik dalam diri ini. Ya Allah, sudah hampir empat tahun aku menjalani hidup sebagai agent of change, aktivis keislaman di kampus ini. Kini benarkah sudah siap untuk diriku mengambil keputusan ini?

    “Percaya padaku, Gi. Kamu pasti bisa bersanding dengannya.” Ucap Agus sekali lagi meyakinkanku.

Hembusan angin datang menemani kami berdua. Di tengah selasar masjid kampus yang damai ini, perlahan matahari pun dengan malu-malu memberikan kehangatannya. Seraya menambah semangat diri ini akan sebuah harapan. Meskipun tak secerah mentari di siang hari, namun diri ini pasti bisa menjadi selembut dan setenang rembulan di malam hari dalam meraih impian. Seraya mengingat mantra ajaib itu, Man Jada wa Jadda. Insya Allah senja ini adalah senja terakhir yang menjadi saksi akan keraguanku. Dengan memantapkan hati dan memantaskan diri. Tunggulah aku di selasar rumahmu. Segera, ku kan menjemputmu. Kekasih hatiku.
                      
                                                                                           Bumi Siliwangi, 22 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar