Sabtu, 28 Maret 2015

Kartini

Kartini
Oleh : M. Ginanjar Eka Arli

    “Kamu kenapa, Del?”

    Wajah sembabnya langsung diseka. Setelahnya ia langsung berusaha tersenyum, meski wajahnya tidak dapat berbohong. Delia, remaja berumur 17 tahun itu berkata, “Tidak apa-apa, Tin. Aku baik-baik saja kok.”

    “Aku tidak percaya. Pasti ulah para lelaki itu lagi ya?” Pungkas Kartini.

    “Eh, ti.. tidak kok. Bukan mereka,” elak Delia.

    “Tunggu saja, biar aku balaskan mereka untukmu, Del.” Ujar Kartini sambil berlalu.

    “Tin, tidak, Tin. Tunggu! Kartini!!” Delia berusaha memanggilnya, namun apa daya. Kartini sudah setengah berlari ke lapangan basket. Tempat para anak-anak nongkrong di sekolahnya.

***

    “Jadi, kalian bikin ulah apalagi ke Delia hari ini?” Tanya Kartini menantang.

    Kini Kartini berhadapan dengan lima orang pria bertubuh tinggi dan tegap. Sadam, Bambang, Husein, Ali, dan Jono. Mereka adalah para atlet basket di sekolahnya. Tidak ada yang berani menantang sebelumnya karena mereka adalah bintang di sekolah itu. Berkat kelima orang tersebut, sekolah Kartini pernah mendapat juara basket antar wilayah. Semua orang segan kepada mereka. Kecuali... Kartini.

    “Hey, kalau ada yang ngomong itu dijawab!” Tanya Kartini kembali. Kesal.

    Kelima orang tersebut tertawa. Salah satu pentolan geng tersebut, Jono, akhirnya menjawab. “Ckck, Kartini. Kamu lagi, kamu lagi. Salah kita apa sih? Diam salah. Ngomong salah. Jangan-jangan kamu naksir ya sama kita?” Tawa mereka meledak kembali.

    Wajah Kartini merah padam. Merasa dilecehkan, Kartini pun membalas, “Jangan mentang-mentang kalian laki-laki dan kami perempuan ya! Zaman sekarang ini sudah berlaku yang namanya emansipasi wanita! Kodrat wanita itu sudah diangkat, jangan sekali-kali kalian merendahkan kami kembali. Apa kalian tidak belajar sejarah?”

    “Wah.. Wah.. Ibu Guru mulai ceramah lagi ya, Bu.” Salah seorang dari mereka berucap. Kali ini giliran Bambang, pemain Center pada kelompok mereka, pria berketurunan Jawa yang angkat bicara. “Kalau mau ngajar mah di kelas, Bu. Bukan di lapangan basket!” Ledeknya.

    Tawa mereka kembali berhamburan. Kartini hendak meluapkan kembali amarahnya. Namun tiba-tiba saja Delia datang dan menengahi mereka. “Sudah, Tin. Biarkan saja mereka. Aku tidak apa-apa kok. Kita kembali ke kelas saja ya.”

    “Tapi..,” Kartini hendak menolak. Namun tiba-tiba bel sekolah berdering. Kriing!

    “Baiklah, saatnya cabut. Sampai ketemu lagi, jeng Kartini.” Ujar Ali sambil menepuk pundak Kartini.

    Kartini hendak berbicara kembali kepada mereka namun dari kejauhan sudah tampak Pak Wayan, wakil kepala sekolah bidang kemahasiswaan. Kepala botaknya bersinar dan seketika murid-murid segera berlarian kembali ke kelasnya masing-masing. Takut dimarahi. Kali ini Kartini mengalah, “Suatu saat nanti aku harus membalas mereka.” Pikirnya dalam hati.

***

    “Kamu kenapa sih, Tin. Suka banget cari gara-gara sama mereka.” Ujar Delia membuka percakapan di kelas.

     Kartini menoleh kepada teman sebangkunya. Wanita yang telah dikenalnya selama satu tahun itu akhirnya angkat bicara. Memang selama ini ketika Delia diganggu oleh para pria berhidung belang di sekolahnya, hanya Kartinilah yang mampu membelanya. Anak-anak lain tidak ada yang berani melawan mereka karena status mereka yang diistimewakan di sekolah itu.

    “Del, bukannya aku yang cari gara-gara sama mereka. Tapi mereka tuh yang ngusilin kamu duluan. Aku nggak tahan sama sifat mereka, Del. Cowo kayak gitu sih harus di labrak, kalo didiamkan terus nanti mereka ngelunjak!” Jawab Kartini kesal.

    Delia diam sejenak. Memang benar sih, selama ini kelima pria yang mengganggu Delia itu selalu didiamkan oleh semua orang. Tapi dia juga tidak tega kalau teman sebangkunya, cewe paling berani di sekolah ini, yang harus membalas mereka.

    “Sekarang itu zamannya emansipasi wanita, Del. Kita sebagai kaum hawa jangan mau dimainkan terus oleh mereka! Sudah saatnya para wanita dianggap sederajat dengan kaum pria. Tugas kita bukan lagi hanya diam di dapur dan melayani suami di rumah. Sekarang ini kita pun sudah bisa mendapat pekerjaan yang layak seperti mereka. Jadi wanita karir, diplomat, guru, dan sebagainya.” Tambah Kartini.

    Delia semakin kagum dengan tingkah laku dan pemikiran Kartini yang optimis dan berani itu. “Kamu itu, Tin. Memang seperti Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita itu. Sungguh, aku berharap akupun bisa sepertimu. Berani, tegas, dan mulia. Membela kaum wanita agar tidak tertindas oleh para pria di negeri ini.”

    Kartini hanya tersenyum mendengar perkataan Delia. Seperti namanya yang harum bak sepucuk bunga. Kartini pun hendak menjadi sosok wanita yang dapat mengharumkan derajat para wanita dengan perjuangannya. Membela emansipasi wanita, melawan penindasan dari kaum pria, dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk ikut ambil andil dalam perjuangan ini. Sungguh besar dan mulia cita-citanya tersebut. Layaknya pahlawan pemberani yang namanya sama seperti ia, Raden Ajeng Kartini.

    “Tenang saja, Del. Aku yakin kamu pasti bisa sepertiku. Insya Allah.” Tutup Kartini.

    Siang itu, awan bermain lembut di atas langit. Matahari bersinar cerah, menjadi saksi hidup atas kisah mereka berdua. Kisah perjuangan dua remaja yang kelak akan menorehkan garis sejarah pada kaum hawa. Membela dan memperjuangkan emansipasi wanita di negara mereka. Negara yang perbandingan jumlah wanita dan prianya sudah satu banding empat. Indonesia.
           
Bumi Siliwangi, 28 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar